Pendahuluan
Dalam konteks inovasi pendidikan, bangsa Indonesia harus segera menyadari bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikannya, karena pola lama yang selama ini digunakan telah terbukti ‘gagal’ menghantarkan terbentuknya manusia-manusia yang memiliki karakter cerdas, kritis, kreatif, dan bertakwa. Sebuah karakter manusia yang sangat dibutuhkan di era globalisasi. Kalau sistem pendidikan Indonesia mampu melahirkan manusia dengan karakter ini, keadaan paradoksal bahwa bangsa Indonesia masih ketinggalan dalam beberapa hal dengan negara lain dapat segera dicari jalan keluarnya melalui kebijakan dan manajemen pendidikan yang tepat.
A. Isu-isu Kebijakan Pendidikan Dasar
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (Wahyu dan Silaban: 2006) mengemukakan bahwa isu diartikan sebagai kabar yang tidak jelas, tetapi menyebar tengah masyarakat, masalah yang di depankan untuk di tanggapi. Sedangkan menurut Imron (2008) isu adalah sesuatu yang oleh seseorang dianggap masalah, bisa dianggap bukan masalah oleh orang lain. Bahkan sesuatu yang dianggap sebagai masalah oleh orang lain bisa dianggap sebaliknya, karena menguntungkan.Ada kalanya problema umum tersebut menjadi perpolemikan antara orang satu dengan lain serta menawarkan banyak sudut pandang. Problema umum yang demikian lazim disebut sebagai “isu”. Dengan demikian “isu” adalah problema umum yang menjadi perdebatan banyak kalangan dengan berbagai sudut pandangnya. Sehingga untuk sebuah kebijakan diambil dan diputuskan biasanya dilatar belakangi oleh adanya masalah. Masalah biasanya muncul ketika ada deskripansi antara dunia cita-cita (dassollent) dengan dunia nyata (dassein) (Rohman: 2012). Hadirnya kebijakan pendidikan dilaksanakan dalam rangka mengurangi kesenjangan yang mendekatkan antara dunia cita-cita dengan dunia nyata.Terkait dengan masalah isu kebijakan pendidikan dasar pertama-tama kita perlu memahami konsep “kebijakan” yang sering digunakan secara luas. Menurut kamus Oxford (Fattah: 2012) kebijakan berarti rencana kegiatan atau pernyataan tujuan-tujuan ideal. Kebijakan di sini terkait dengan kebijakan publik, dan dibuat atas nama negara oleh instrumen atau alat-alat negara untuk mengatur perilaku tiap orang, seperti guru atau siswa dan organisasi, seperti sekolah dan universitas.Masih banyak kesalahan pemahaman maupun kesalahan konsepsi tentang kebijakan. Beberapa orang menyebut policy dalam sebutan kebijaksanaan, yang maknanya sangat berbeda dengan kebijakan. Istilah kebijaksanaan adalah kearifan yang dimiliki oleh seseorang, sedangkan kebijakan adalah aturan tertulis hasil keputusan formal organisasi. Contoh kebijakan adalah : (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keputusan Presiden, (4) Keputusan Menteri, (5) Peraturan Daerah, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yang dicontohkan disini adalah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan. Contoh ini juga memberi pengetahuan pada kita bahwa ruang lingkup kebijakan dapat bersifat makro dan mikro.Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Monahan dalam Syafaruddin: 2008). Kemudian senada dengan pendapat Monahan dalam Abidin (2006) menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat.Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku (Dunn, 1998). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.Dari pengertian para ahli tersebut maka, kami menyimpulkan bahwa kebijakan merupakan suatu tindakan yang di lakukan secara prosedural dan sistematis untuk menghasilkan sebuah kebijakan dalam memecahkan masalah, terutama masalah pendidikan yang dituangkan dalam bentuk tertulis sebagai acuan pelaksanaan kebijakan pendidikan dasar. Kebijakan dalam pendidikan di tetapkan oleh pemerintah yang mengatur pengelolaan sekolah, pemerintah yang diatur tidak hanya kurikulum, pedagogik dan penilaiannya, tetapi juga kondisi guru dan pemeliharaan sarana fisik sekolah. Fungsi kebijakan dalam pendidikan adalah: (1) menyediakan akuntabilitas norma budaya yang menurut pemerintah perlu ada dalam pendidikan, (2) melembagakan mekanisme akuntabilitas untuk mengukur kinerja siswa dan guru.Beberapa isu yang telah menjadi program Depdikbud untuk meningkatkan kependidikan dasar menurut Depdiknas dalam Fattah(2012) adalah sebagai berikut:1) Pemerataan dan Perluasan akses
Program pemerataan dan perluasan akses akan di lakukan dengan mengupayakan menarik semua anak usia sekolah yang sama sekali belum pernah sekolah, menarik kembali siswa putus sekolah, dan lulusan yang tidak pernah melanjutkan pendidikan. Berikut pelaksanaan program pemerataan dan perluasan: (a) Pemberian bantuan operasional, (b) rehabilitasi ruang kelas yang rusak, (c) unit sekolah baru dan RKB, (d) perintisan pendidikan dasar 9 tahun satu atap, dan (e) penyelenggaraan kelas layanan khusus di sekolah dasar.2) Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing
Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan dasar akan dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut: sebagai bagian dari kegiatan yang mendasar dan sistematis adalah penegembangan kurikulum, metode pembelajaran dan sistem penilaian. Model kurikulum yang dikembangkan perlu memperhatikan potensi peserta didik, karakteristik daerah serta akar sosio-kultural, komunitas setempat, dan perkembangan IPTEK.3) Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik
Pengembangan kapasitas Dewan Pendidikan (DP) dan Komite Sekolah (KS) serta Komite Pendidikan Luar Sekolah (PLS) merupakan kegiatan yang terus di lakukan dalam rangka pemberdayaan partisipasi masyrakat untuk ikut bertanggung jawab mengelola dikdas. Berfungsinya kedua kelembagaan tersebut secara optimal akan memperkuat pelaksanaan prinsip good governance dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.Beberapa isu-isu yang juga menjadi sorotan masyarakat yang perlu ditindak lanjuti oleh pemerintah yaitu mengenai penyelenggaraan UN, tawuran antar pelajar, sertifikasi pendidik, kegagalan pendidikan dalam menciptakan moralitas anak bangsa.Pada hal ini isu mengenai kegagalan pendidikan dalam menciptakan moralitas anak bangsa, disini sistem pendidikan belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai tujuan pendidikan Nasional yang tergambar dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional. Untuk memcahkan permasalahan tersebut, Depdikbud telah mencanangkan implementasi kurikulum 2013 yang notabanenya cenderung mengintegrasikan nilai-nilai dalam semua mata pelajaran, serta meminimalisir 12 mata pelajaran sekolah dasar menjadi 6 mata pelajaran.Pertanyaan yang masih menghantui para ‘pemikir pendidikan’ hingga kini adalah, kenapa pola pendidikan negara kita yang dipakai selama ini telah gagal membentuk manusia cerdas, kritis, kreatif, dan bertakwa? Untuk bisa menjawab pertanyaan seperti ini, sebenarnya kita semua harus mengakui bahwa dalam realitasnya pola pendidikan Indonesia yang selama ini dipakai masih cenderung mematikan kreatifitas dan memenjarakan peserta didik. Pendidikan hanya menuntut peserta didik untuk selalu “tunduk dan patuh” sehingga tidak memberikan kebebasan sedikitpun kepadanya untuk bersikap kritis dan rasional. Pendidikan kita terlanjur menekankan titik berat kepada “penimbunan fakta-fakta” dan melupakan cara “belajar berfikir”. Karena pendidikan selalu ditekankan pada pemikiran konvergen dan terlalu dibiasakan untuk berfikir secara tertib dan dihalangi kemungkinannya untuk merespon dan memecahkan masalah secara bebas. Akibatnya, peserta didik kita “diarak” pada stagnasi yang menjurus ke keadaan statis dan akhirnya macet dalam berfikir dan bertindak.
B. Hubungan Isu Kebijakan dan Pendidikan Dasar
Beberapa hasil penelitian pendidikan telah menunjukkan bahwa ada kecenderungan kreatifitas tidak dapat berkembang secara optimal di kalangan subyek didik Indonesia. Hal ini disebabkan karena pendidikan formal di Indonesia terlalu menekankan pemikiran yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan jawaban satu-satunya yang tepat sebagaimana diajarkan oleh gurunya di dalam kelas. Murid jarang sekali dirangsang untuk melihat satu persoalan dari berbagai macam sudut yang berbeda. Bahkan, murid sangat jarang tersentuh sehingga menjadi kaku, kurang terbuka dan toleran terhadap pandangan yang berbeda. Sesuatu yang baru dan berbeda sering tidak disukai dan ditolak. Mereka merasa lebih aman terhadap hal-hal yang sudah ada, lama dan konvensional.Menurut Fendrik (2013) permasalahan yang terkait dengan kualiatas guru menuntut adanya reformasi guru yang ditandai dengan adanya perubahan “mind set” tentang guru sebagai pihak yang berada di garis depan pencapaian tujuan pendidikan nasional. Salah satu aspek strategis yang menjadi fokus perubahan dalam reformasi guru yaitu berkaitan dengan peningkatan kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Kualifikasi akademik merupakan salah satu prasyarat utama yang menentukan kelayakan seorang guru dalam melaksanakan tugas kependidikan. Pada kenyataannya masih terdapat sekitar 74% guru SD yang belum memiliki kelayakan kualifikasi akademik (S-1) sehingga harus ditingkatkan kualifikasi akademiknya.Sehubungan dengan perlunya humanware dalam pendidikan di sekolah, lahirnya Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 8, yang menyebutkan bahwa “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”, telah mengisyaratkan bahwa adanya tuntutan bagi guru di seluruh jenjang pendidikan untuk memiliki kualifikasi akademik yang sesuai dengan pekerjaannya.Landasan hukum tersebut, secara otomatis telah mendesak berbagai perguruan tinggi untuk mendirikan dan menyelenggarakan program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Hal ini disebabkan karena terdapatnya sebagian besar guru pada Sekolah Dasar (SD) di daerah Indonesia yang belum mengenyam pendidikan Strata Satu (S1). Dengan terselenggaranya PGSD, diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan profesionalitas guru di sekolah. Tentu saja dengan suatu pertimbangan guru dalam pendidikan memainkan peranan yang vital bagi terciptanya pendidikan yang bermutu dan membentuk peserta didik yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian atau dalam bahasa UNESCO (1996) seorang guru mampu moulding the character and mind of young generation. Dikatakan vital, sebab guru merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Ibarat sebuah mata rantai, antara guru, peserta didik, tujuan pendidikan, alat dan situasi pendidikan semua terikat secara sinergik dalam membangun kualitas pendidikan secara totalitas. Akan tetapi, karena pendidikan dilakukan oleh dan kepada manusia, maka faktor manusia dalam hal ini guru menempati posisi sentral dalam pendidikan.
Proses pembelajaran selama ini terlalu menekankan pada aspek kognitif. Akibatnya, persoalan afektif yang berkaitan dengan sistem nilai kurang dapat dikembangkan. Hal ini berakibat pada lemahnya sistem nilai yang dimiliki oleh peserta didik kita. Karena sistem nilai yang ada pada diri peserta didik lemah, akibatnya mereka kurang memiliki visi yang jelas mengenai masa depan mereka. Dengan kata lain, para peserta didik sebagian besar kurang memiliki sense of crisis, sehingga mereka kurang menyadari akan pentingnya memiliki keunggulan kompetitif untuk mampu hidup dengan wajar di era global.Akibatnya, ketidakberdayaan peserta didik dalam menghadapi era globalisasi yang penuh kompetisi seperti itu adalah wajar karena proses belajar mengajar yang hanya berorientasi pada ranah kognitif biasanya hanya memproduk manusia seperti “mesin” dan bermental tukang, miskin imajinasi dan lemah dalam karakternya. Sistem pendidikannya pun tidak bersifat emansipatif dan liberatif serta kurang memperhatikan potensi individu serta kinerja otak dan emosi.Padahal sebenarnya pelaku pendidikan harus bisa menghargai peserta didik sebagai manusia dengan memperhatikan kinerja otaknya. Karena otak merupakan tempat menyimpan dan bersemayamnya kecerdasan dan emosional peserta didik. Inilah satu-satunya organ yang sangat berkembang sehingga ia dapat mempelajari tentang dirinya sendiri. Jika dirawat oleh tubuh yang sehat dan lingkungan yang merangsang, otak yang berfungsi dapat tetap aktif dan reaktif selama lebih dari seratus tahun.Lebih dari itu, sistem pendidikan di Indonesia tidak didukung oleh guru-guru demokratis yang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengemukakan pendapat secara bebas dan argumentatif. Pendapat guru yang terkesan “segalanya” dan pasti benar adanya hingga tidak boleh dibantah apalagi dikritik. Mengkritik guru bisa jadi “malapetaka” dan tidak barokah adalah slogan yang sering didengungkan kepada peserta didik agar mereka memiliki rasa ingin tau dan takut kepada gurunya. Akibatnya, peserta didik senantiasa dalam ketakutan dan ketidakberdayaan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri.Selain itu, pendidikan di negara kita belum didukung dengan seperangkat kurikulum dan metode yang baik. Padahal kurikulum yang didukung dengan metode yang baik sangat memainkan peranan yang penting dalam mencapai suatu keberhasilan pendidikan. Karena, sebaik apapun kurikulum yang diberikan kepada peserta didik tidak akan memiliki dampak apapun pada perkembangan mereka, apabila dalam menyampaikan kurikulum tersebut tidak disertai dengan metode yang baik pula.Metode memainkan peran yang sangat “vital” demi keberhasilan suatu proses belajar mengajar. Tujuan menggunakan metode ini adalah untuk memperoleh efektivitas dari kegunaan metode yang paling tepat untuk segala kondisi. Karena pada dasarnya penggunaan metode pendidikan disesuaikan dengan segala hal yang berkaitan dengan materi. Apabila materinya direlevansikan dengan kebutuhan masyarakat global yang selain cerdas juga memiliki kepekaan sosial dan berteknologi. Tentu saja kurikulum tersebut harus didukung dengan metode yang relevan pula.Metode yang relevan dengan masyarakat global adalah metode yang dapat menumbuhkan kemerdekaan pada peserta didik untuk menumbuhkan sisi-sisi kemanusiannya. Sekolah dan guru berposisi dan berperan sebagai fasilitator dan mediator. Dengan didukung seperangkat teknologi, tentu saja metode tersebut akan memudahkan setiap peserta didik dalam proses belajar mengajarnya. Sehingga metode ini diharapkan mampu memekarkan kecerdasan otak sekaligus hatinya.Melihat realitas problematika sistem pendidikan tersebut di atas, sesungguhnya model pendidikan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia sekarang adalah model pendidikan yang demokratis, partisipatif, dan humanis. Sebuah karakter pendidikan yang mensyaratkan adanya kebebasan berpendapat, kebebasan mengungkapkan gagasan, adanya keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah.Saling menghargai atau apresiasi di dalam komunitas pendidikan sangat mutlak diperlukan karena apresiasi pada hakikatnya bukan hanya sekedar kata yang menjadi nama dari sebuah keinginan tetapi juga tindakan. Jika guru dan peserta didik serta orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan saling mengahrgai satu sama lain, kemungkinan besar akan bisa mencapai kesepakatan yang bijaksana, dibandingkan jika masing-masing pihak tidak saling menghargai. Karena dengan saling menghargai akan menimbulkan rasa nyaman dan mudah bekerjasama.Keinginan untuk mewujudkan pendidikan demokratis seperti itu harus dimulai dari sekolah. Sebab pendidikan yang demokratis bukan hanya untuk menyiapkan siswa bagi kehidupan mereka nantinya di masyarakat. Oleh karena itu, pada setiap sekolah guru harus mampu mendorong dan menumbuhkembangkan pendidikan yang demokratis dan humanis ini serta berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mengoptimalkan seluruh kemampuan dasar yang dimiliki oleh peserta didik, seperti kemampuan berkomunikasi, eksploratif, kreatif, serta integral. Sebab, kemampuan dasar inilah yang akan dijadikan bekal oleh peserta didik kelak ketika mereka hidup bermasyarakat dalam lingkungannya.Kemampuan berkomunikasi ditandai dengan penguasaan bahasa dan kepercayaan diri dalam berkomunikasi dengan semua orang dari segala lapisan yang ada di masyarakat di rasa sangat penting. Hal ini disebabkan karena hanya mereka yang mampu menyerap, menguasai, dan mengelola informasilah yang akan mampu berkompetisi dan dapat berhasil dalam persaingan hidup ditengah masyarakat.Jiwa eksploratif yang dicirikan adanya keinginan anak didik untuk suka mencari, bertanya, menyelidiki, merumuskan pertanyaan, mencari jawaban, dan peka menangkap gejala alam sebagai bahan untuk mengembangkan diri mesti ditumbuhkembangkan dalam diri anak agar menjadi pribadi-pribadi yang mandiri dan berkualitas. Sedangkan jiwa kreatif dicirikan dengan anak suka menciptakan hal-hal baru dan berguna, tidak mudah putus asa, berfikir lateral serta semangat integratif yang ditandai kemampuan melihat dan menghadapi beragam kehidupan dalam keterpaduan yang realistis dan utuh pada aspek pemberdayaan yang dimiliki peserta didik.Jelasnya, perubahan paradigma pendidikan Indonesia dari pendidikan dengan pendekatan dan metode konvensional menuju pendidikan demokratis, humanis, dan partisipatif yang dicirikan dengan model pendidikan dengan metode pendidikan yang mendidik, kreatif, dan dialogis adalah sebuah keharusan. Apalagi hal ini telah diamanatkan oleh UU No. 20 Tahun 2003 Sisdiknas Pasal 4 Ayat 4 yang menyatakan bahwa: pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran yang meliputi proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis.Ditambah lagi proses pembelajaran di sekolah harus aktif, kreatif, dan menyenangkan. Sebagaimana termaktub dalam PP No. 19 Tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan Pasal 19 Ayat 1 menyatakan bahwa: proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.Sebenarnya terdapat beberapa sekolah di Indonesia yang telah mencoba menerapkan dan mengembangkan sistem serta metode pendidikan alternatif tersebut. Sekolah dengan model ini biasanya dengan keberanian para pemimpin dan kreatifitas para gurunya telah melakukan sebuah bentuk inovasi pendidikan. Meskipun harus diakui, penerapan dan operasionalisasi konsep inovasi pendidikan ini di lapangan masih mengalami sejumlah permasalahan serius. Persoalannya masih banyak guru yang belum mengerti betul landasan epistimologi metode tersebut sehingga asal “comot” dalam proses pembelajaran.Bahkan yang paling parah, karena mengaku menerapkan basis konstruktivisme, peserta didik terkadang “dipaksa” untuk menghadirkan realitas yang terkadang berlawanan dengan sifat kemuliaan mereka sebagai manusia. Dan masih banyak kejanggalan kebijakan pendidikan dasar yang dilakukan kepada peserta didik sehingga merugikan generasi bangsa. Dalam konteks ini, perlu kiranya sebuah pemikiran integratif antara kebijakan pendidikan dasar yang mungkin bangunan teorinya berasal dari barat dengan konsep-konsep keislaman dan budaya ketimuran sehingga tidak terkesan bertabrakan dan berlawanan dalam dunia pendidikan dasar kita.
Simpulan
Kebijakan merupakan suatu tindakan yang di lakukan secara prosedural dan sistematis untuk menghasilkan sebuah kebijakan dalam memecahkan masalah, terutama masalah pendidikan yang dituangkan dalam bentuk tertulis sebagai acuan pelaksanaan kebijakan pendidikan dasar. Kebijakan dalam pendidikan di tetapkan oleh pemerintah yang mengatur pengelolaan sekolah, pemerintah yang diatur tidak hanya kurikulum, pedagogik dan penilaiannya, tetapi juga kondisi guru dan pemeliharaan sarana fisik sekolah.Selain itu kebijakan dalam proses pembelajaran selama ini terlalu menekankan pada aspek kognitif. Akibatnya, persoalan afektif yang berkaitan dengan sistem nilai kurang dapat dikembangkan. Hal ini berakibat pada lemahnya sistem nilai yang dimiliki oleh peserta didik kita. Karena sistem nilai yang ada pada diri peserta didik lemah, akibatnya mereka kurang memiliki visi yang jelas mengenai masa depan mereka. Dengan kata lain, para peserta didik sebagian besar kurang memiliki sense of crisis, sehingga mereka kurang menyadari akan pentingnya memiliki keunggulan kompetitif untuk mampu hidup dengan wajar di era global.
Akibatnya, ketidakberdayaan peserta didik dalam menghadapi era globalisasi yang penuh kompetisi seperti itu adalah wajar karena proses belajar mengajar yang hanya berorientasi pada ranah kognitif biasanya hanya memproduk manusia seperti “mesin” dan bermental tukang, miskin imajinasi dan lemah dalam karakternya. Sistem pendidikannya pun tidak bersifat emansipatif dan liberatif serta kurang memperhatikan potensi individu serta kinerja otak dan emosi.
Daftar Rujukan
Abidin, S. Z. (2006). Kebijakan Publik. Jakarta: Suara Bebas.
Dunn, W. N. (1998). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Fattah, N. (2012). Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Fendrik, M. (2013). Konferensi Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar SPS UPI “Menyongsong Generasi Emas 2045”. Bandung: Prosiding Pendidikan Dasar SPS UPI.
Imron, A. (2008). Kebijaksanaan Pendidikan Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.Rohman, A. (2012). Kebijakan pendidikan (analisis dinamika formulasi dan implementasi). Yogyakarta: Aswaja Presindo.
Syafaruddin. (2008). Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Wahyu dan Silaban. (2006). Kamus Pintar Bahasa Indonesia. Batam Centre: Karisma Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar