LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN
Pendidikan
merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan manusia, baik dalam kehidupan keluarga, maupun dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Maju mundurnya suatu bangsa akan ditentukan oleh maju
mundurnya pendidikan dari suatu bangsa tersebut. Karena pada hakikatnya
pendidikan masih diyakini oleh banyak kalangan sebagai upaya strategis untuk
melakukan perubahan, dan merupakan bentuk upaya ikhtiar dalam membentuk pribadi
manusia serta mempersiapkan generasi muda untuk mengarungi bahtera kehidupan
yang lebih baik dimasa yang akan datang. Sementara itu, guru sebagai sutradara
pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Dimana tugas guru salah satunya harus
dapat memberikan informasi pengetahuan yang optimal kepada siswa. Memberikan pengetahuan pada siswa
bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan guru mengingat beragam pola tingkah
laku yang dimiliki siswa di dalam kelas, membuat guru harus mengatasi berbagai
macam hal yang terjadi di kelas.
Menurut UU
No. 14 tahun 2005, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru adalah orang yang memiliki
kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas
agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat
kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Jadi, guru adalah orang
dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan
membimbing peserta didik.
Kualitas guru Indonesia
pada saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. (Dalam Pasal 8 UU Guru dan Dosen), dikemukakan bahwa
“guru wajib memiliki kualifikasi akan kompetensi, sertifikat pendidik, sehat
jasmani dan rohani dan memiliki kemampuan untuk mewujutkan tujuan pendidikan
nasional”. Konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah perlunya suatu sistem
pengujian terhadap kompetensi sebagai acuan untuk mengetahui apakah guru-guru
memenuhi standar guru di Indonesia.
Berbagai
masalah tentang guru beredar di masyarakat kita bahwa profesi sebagai pendidik
adalah profesi yang tidak menjanjikan dan bahkan berposisi sebagai profesi yang
nomor sekian di bawah profesi-profesi lain. Bahkan hal itu sudah menjadi
konvensi yang mengakar dalam pola pikir masyarakat kita. Akibatnya, banyak
orang yang menjadikan profesi guru sebagai profesi loncatan atau sebagai
terminal terakhir setelah mencapai kegagalan dalam mencari profesi lain. Kalau
sudah begini, apakah mungkin dunia pendidikan akan melahirkan manusia-manusia
berkualitas dan bermoral serta peradaban yang bisa membangun negeri ini menuju
ke puncak kejayaannya, sedangkan para pendidiknya berangkat dari unsur
keterpaksaan dan tidak berasal dari hati nuraninya untuk menjadi pendidik?
Bagaimana mungkin pendidik bisa mengajarkan sesuatu yang benar secara nurani
dan bermoral dari segi perilaku, sedangkan
pola dan paradigma kehidupannya sudah tidak berangkat dari jalur yang
benar?
Dari
berbagai pernyataan tersebut, tentulah bisa diprediksi bagaimana guru karbitan
tersebut mendidik anak didiknya. Profesionalisme profesi guru pun menjadi tidak
ada artinya dan hanya menjadi semboyan belaka, sebab cara mendidiknya tentu
saja tidak profesional dan tidak mengerti cara mendidik yang benar dan tepat
sehingga bisa melahirkan generasi penerus yang mumpuni dan berpendidikan secara
holistik. Karena tentu saja guru karbitan tidak akan mengerti bagaimana cara
mendidik yang baik, bagaimana cara mengajarkan suatu pelajaran, bagaimana cara
menguasai kelas dengan baik, serta bagaimana memberikan suatu pelajaran secara
efektif dan efisien sesuai dengan standar-standar pengajaran dengan berbagai
metode dan strategi pengajarannya. Bahkan, jangankan guru karbitan, guru yang
sudah bergerak dari jalur guru sejak awalnya pun belum tentu bisa menguasai
berbagai metode dan strategi pengajaran dengan baik dalam proses pembelajaran
di kelas.
UPAYA PERUBAHAN DALAM SISTEM
PENDIDIKAN PROFESI GURU
Masalah
utama yang dihadapi bangsa kita saat ini adalah rendahnya kualitas hidup
manusia yang ditunjukkan oleh rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain di dunia. Oleh karena itu, upaya
bangsa untuk meningkatkan kualitas hidup manusia menjadi sangat strategis dan
menentukan sebagai kunci sukses memasuki pasar global di abad ini. Pemberdayaan
profesi guru dipandang sebagai bagian utama peningkatan kualitas mutu hidup
manusia, karena guru adalah salah satu kelompok strategis keberlanjutan bangsa.
Hal
ini merupakan komitmen bangsa bahwa menghormati, memenuhi, dan menjamin hak
guru adalah tanggung jawab negara, pemerintah, dan masyarakat. Dengan fokus
pada sistem pendidikan profesi guru, maka sekaligus percepatan pencapaian
target mencapai kualitas hidup manusia di tahun 2015 sebagai tujuan bersama
Mellinium Development Goals (MDGs) dan World Fit For Children (WFFC) dapat
dicapai.
Profesi
sebagai guru memiliki peran yang sangat strategis dalam proses pencerdasan,
pembudayaan, dan pembangunan karakter bangsa. Pencanangan guru sebagai jabatan
profesi dan menjadi modal dasar dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional
secara komprehensif. Dengan tugas-tugas seperti yang tertera dalam UU Nomor 14
Tahun 2005, guru menjadi faktor kunci dan “the
front liner” dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
peningkatan mutu pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Sebagai
konsekuensinya, guru harus memiliki kemampuan yang memadai dan terstandar untuk
memecahkan masalah-masalah pendidikan serta mempunyai keinginan dalam
mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas.
Mutu
dan profesionalitas guru sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek pendidikan
dan/atau pelatihan lanjutan yang dialaminya pada saat memangku jabatan sebagai
guru (in-service teacher training).
Permasalahan yang sering muncul dalam pelaksanaan pendidikan/pelatihan guru
dalam jabatan, di antaranya: (a) materi penataran yang diberikan bukan yang
dibutuhkan oleh guru; (b) penatar sering tidak lebih bermutu pengetahuannya dan
juga tidak lebih lama pengalamannya dari yang ditatar; (c) kegiatan penataran
biasanya diselenggarakan pada jam efektif di mana para guru seharusya mengajar;
(d) penataran dipandang guru hanya sebagai paksaan untuk memperoleh sertifikat;
dan (e) penyelenggaraan pelatihan pada umumnya sangat berorientasi pada proyek.
Permasalah-permasalahan tersebut akan berakibat terhadap rendahnya kualitas
kinerja guru yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh juga terhadap perolehan
hasil belajar siswa yang diajarnya di sekolah.
Kemajuan
ilmu dan teknologi yang sangat cepat menimbulkan perkembangan yang cepat pula
dalam berbagai bidang kehidupan. Perkembangan teknologi informasi membawa
masyarakat ke arah kehidupan yang lebih terbuka, komunikasi yang akurat dan
cepat ke seluruh penjuru tanah air bahkan ke seluruh dunia, serta sarana
transportasi yang semakin canggih memperpendek jarak antardaerah dan negara.
Semuanya membawa kepada tatanan kehidupan yang bersifat global, menghilangkan
batas-batas antarbangsa, negara, dan benua. Dalam kehidupan yang demikian,
terdapat tuntutan yang semakin tinggi dan persaingan yang semakin ketat.
Masalah mutu, baik mutu produk maupun mutu layanan adalah hal yang tidak dapat
ditawar lagi dari mereka yang mampu memberikan sesuatu yang bermutu, mampu
bersaing dalam kehidupan global dan berkinerja secara profesional.
Profesionalisme menjadi syarat mutlak untuk dapat berkiprah pada era informasi,
era globalisasi, baik secara regional, nasional, maupun internasional.
Menurut
Suprihatiningrum (2013: 70) guru profesional adalah guru yang terdidik dan
terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Hal ini
menunjukkan bahwa seorang guru harus mengetahui, memahami, dan menguasai
berbagai strategi dan teknik pembelajaran, menguasai landasan-landasan
kependidikan, serta menguasai bidang studi yang diajarkan.
Dalam
Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 2, guru dikatakan
sebagai tenaga profesional yang mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya
dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi,
dan sertifikasi pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan
jenjang pendidikan tertentu. Selanjutnya Undang-undang No. 20 Tahun 2003, Pasal
39 Ayat 2 menjelaskan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Menurut
Suprihatiningrum (2013: 24) orang yang disebut pendidik atau guru adalah orang
yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran, serta mampu menata dan
mengelola kelas agar siswa dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai
tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Guru seharusnya
melalui pendidikan mampu membantu anak didik untuk mengembangkan daya berpikir
atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif
dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya
sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.
Di
mata siswa, guru adalah seorang yang mempunyai otoritas bukan saja dalam bidang
akademis, melainkan juga dalam bidang non akademis. Bahkan dalam masyarakat,
guru dipandang sebagai orang yang harus di gugu dan di tiru. Pengaruh guru
terhadap siswanya sangat besar. Faktor-faktor imitasi, sugesti, identifikasi,
dan simpati misalnya memegang peranan penting dalam interaksi sosial. Oleh
sebab itulah, berdirinya PGMI/PGSD sebagai wadah untuk membentuk dan mewujudkan
guru yang profesional bisa dikatakan sebagai upaya untuk dapat membawa
perubahan dalam sistem pendidikan di sekolah dan melahirkan SDM yang handal
serta tercapainya tujuan yang diharapkan agar tercapainya tipologi guru yang
memiliki karakteristik tertentu, yang pada masa sekarang disebut dengan guru
berkompetensi. Guru yang berkompetensi menggambarkan bahwa guru harus memiliki
dan menampilkan sosok kualitas personal (kepribadian), pedagogik, profesional,
serta sosial dalam menjalankan tugasnya.
Profesionalitas
guru MI/SD melalui PGMI/PGSD sangat tepat momentumnya bagi perkembangan
pendidikan di sekolah karena didasarkan pada realitas di lapangan bahwa masalah
kompetensi dan profesionalitas mereka dalam menjalankan proses pendidikan dan
pengajaran di sekolah menghadapi permasalahan dan kritik dari berbagai pihak.
Di antara kritik yang patut di cermati adalah bahwa pendidikan di sekolah lebih
berkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis yang bersifat kognitif semata,
kurang concern terhadap persoalan
bagaimana mengubah pengetahuan tersebut menjadi makna dan nilai yang perlu
diinternalisasikan ke dalam jiwa siswa. Tamatan PGMI/PGSD diharapkan akan mampu
menjawab semua kritikan seperti ini dengan melahirkan pendidikan yang kreatif
dan inovatif. Tentu saja dengan cara pandang teori-teori ke MI-an/ke SD-an,
selama mereka mengikuti program pendidikan ini seorang guru MI/SD akan
dipandang cakap dan memiliki kompetensi mampu mengajar anak-anak secara efektif
dan holistik.
PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU MI/SD
Arus
dinamika masyarakat terus mengalir dan bergerak menuju ke samudera modernisme
kehidupan masyarakat yang di dalamnya mengandung unsur harapan, di samping
kecemasan dan keresahan sosial. Perkembangan global yang terjadi saat ini bisa
jadi akan menuju arah yang positif dan bisa pula ke arah yang negatif,
tergantung siapa yang paling banyak menginstal konsep-konsep,
pemikiran-pemikiran, budaya dan nilai ke dalamnya. Dalam kondisi yang
demikianlah kita berbicara mengenai kiprah pendidikan dalam pemberdayaan
manusia Indonesia di kancah globalisasi.
Berbicara
tentang kaitan antara pendidikan dan globalisasi, tentu saja kita juga harus
membicarakan mengenai “sosok guru ideal” yang di harapkan. Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah, profil sosok guru ideal bagaimana sebenarnya yang
diharapkan oleh sistem pendidikan dalam menghadapi globalisasi tersebut? Tentu
saja, profil guru yang diharapkan dunia pendidikan adalah tidak sesederhana
seperti gambaran dan impian orang-orang tua kita dahulu, yaitu seseorang yang
biasanya bergaya dan berpakaian seperti layaknya guru dan mengajar di kelas,
sementara ia tidak tahu apa-apa tentang perkembangan dunia luar. Profil guru
seperti ini tidak lah salah namun sudah saatnya untuk “dirubah” dengan “sosok”
yang selain memiliki keahlian dalam mengajar, juga harus memiliki
kemampuan-kemampuan yang diperlukan anak-anak mereka dalam menghadapi dan
mengantisipasi perkembangan zaman.
Seseorang
yang dikatakan profesional, menurut Muhaimin dalam Syamsul Ma’arif (2009: 105),
“bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya,
sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu
berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai
dengan tuntunan zamannya, yang dilandasi oleh kesadaran tinggi bahwa tugas
mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya
di masa depan”.
Sosok
guru ideal yang diharapkan pendidikan sekarang adalah seorang ilmuwan dengan
ciri-ciri sebagai berikut; (1) Peka terhadap masalah, Karena kepekaan
seperti ini merupakan penggerak kreatifitas. Bagi ilmuwan yang lebih penting
adalah memikirkan pertanyaan untuk suatu jawaban daripada menjawab pertanyaan
yang sudah ada; (2) Bekerja tanpa pamrih, Dalam dunia ilmu sikap tanpa
pamrih biasanya diberi makna obyektif, cinta kebenaran dan kritis. Tetapi bukan
obyektif yang dingin, cinta kebenaran yang impersonal atau sekedar membuka diri
untuk selalu kritis dan bersedia menerima kritik. Melainkan, sifat tanpa pamrih
mendorong ilmuwan untuk tidak semata mengindahkan kepentingan sendiri,
sebaliknya harus membuka diri untuk setiap kebenaran termasuk yang tidak
berasal dari dirinya, bahkan bersedia mempertaruhkan diri walaupun dengan itu
seolah hakekat kemanusiaannya menjadi semu belaka; (3) Bersikap bijaksana, kebijakan
mengandung makna adanya hubungan timbal balik antara pengenalan dan tindakan,
antara pengertian praktis etis yang sesuai; (4) Tanggung jawab, seorang
ilmuwan berkewajiban mencari, menemukan dan memanfaatkan ilmu bagi keperluan
hidup umat manusia, sekaligus juga harus bertanggung jawab atas apa yang
terjadi selanjutnya jika dengan ilmu itu ternyata menimbulkan kerusakan
lingkungan di alam ini, lalu berusahalah ia untuk mencari lagi jalan keluarnya.
Dengan begitu, jelaslah bahwa sosok guru dengan karakter “Cerdas, Kreatif, dan
Beradab” adalah sosok yang sangat dibutuhkan pendidikan dasar di Indonesia
untuk menghadapi zaman globalisasi, yaitu sosok yang diharapkan dengan memiliki
berbagai macam kecerdasan di dalam dirinya, baik itu kecerdasan fisik,
kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan kecerdasan
spritual.
Kenapa
“sosok” guru dengan berbagai macam kecerdasan tersebut sangat dibutuhkan di era
globalisasi? Karena, dalam konteks globalisasi ini berbagai perubahan dalam
kehidupan yang menjadi ciri utamanya adalah keterampilan mentransfer
pengetahuan tertentu yang sangat spesifik konteksnya sehingga diperlukan transferable knowledge. Transferable knowledge ini harus
memiliki komponen-komponen yang jelas dan dapat diterapkan dalam kehidupan
nyata, yang berarti pengetahuan yang diajarkan kepada siswa tidak hanya
bersifat teoritik tetapi juga praktik, sehingga potensi yang harus dikembangkan
adalah kreativitas dan peningkatan kecerdasan siswa secara stimulan dalam
dimensi moral.
Selain
itu, dalam memasuki era globalisasi yang ditandai dengan berbagai kemajuan pada
aspek-aspek tertentu dalam kehidupan umat manusia dan biasanya terjadi
pergaulan global yang dicirikan sebagai berikut: Pertama, terjadi pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke
arah persaingan perdagangan, investasi, dan informasi. Kedua, hubungan antarnegara/bangsa secara struktural berubah dari
sifat ketergantungan kearah saling ketergantungan. Ketiga, batas-batas geografi hampir kehilangan arti operasionalnya.
Kekuatan suatu negara dan komunitas dalam interaksinya dengan negara ditentukan
oleh kemampuannya memanfaatkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
Keempat, persaingan antarnegara
sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik,
efisien, tidak menghargai nilai, dan norma yang secara ekonomi dianggap tidak
efisien.
Menghadapi
fenomena globalisasi semacam itu, sekarang ini telah memunculkan “trend
pendidikan” yang lebih berorientasi pada pengembangan potensi manusia, bukan
memusatkan pada kemampuan teknikal dalam melakukan eksplorasi dan ekspoitasi
alam. Pergeseran ini didorong tidak hanya oleh kenyataan terjadinya krisis
ekologi tetapi juga oleh hasil riset terutama dalam bidang neuropsikologi yang
menunjukkan bahwa potensi manusia masih sangat sedikit. Dengan begitu, masa
depan peradaban manusia masih sulit diramalkan karena akan terjadi berbagai
inovasi yang mengejutkan, baik dalam aspeknya yang positif maupun negatif.
Tentu
saja, dalam menghadapi kasus seperti itu pendidikan nasional harus segera
mewujudkan apa yang telah menjadi fungsi dan tujuannya dalam Undang-Undang
Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 3, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembanganya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk
merealisaikan fungsi dan tujuan pendidikan nasional mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diharapkan. Pendidikan nasional melalui PGSD/PGMI
harus menumbuhkan prakarsa dan memekarkan potensi kreatif pada peserta didiknya
dengan berbagai macam kecerdasan.
Pendidikan
nasional harus segera memperhatikan berbagai macam kecerdasan yang harus
dikembangkan, karena dalam menghadapi globalisasi unsur yang paling penting
adalah bagaimana kita bisa mengoptimalkan potensi “mind” dan “brain” pada
diri siswa untuk meraih prestasi peradaban secara cepat dan efektif. Maka
masing-masing kecerdasan dalam diri siswa harus ditumbuhkembangkan secara
proporsional dan seimbang. Ini berarti pendidikan yang “demokratis” harus
memberlakukan beragam metode yang menggali kemampuan siswa untuk berperan
secara aktif, dengan mengakui perbedaan kemampuan intelektual, kecepatan
belajar, sifat, sikap, dan minatnya.
Kebijaksanaan
pendidikan yang harus diutamakan adalah membantu setiap mahasiswa (sebagai
calon guru MI/SD nantinya) dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan: (1)
menyediakan guru profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi
pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik
dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga, dan ruang
gururuang bermain yang memadai; (3) menyediakan media pembelajaran yang
inovatif, sehingga memungkinkan peserta didik dapat secara terus menerus
belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, serta
kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik
belajar sampai tingkatan menikmati belajar; dan (4) evaluasi yang terus
menerus, komprehensif, dan obyektif.
Menjadikan
pendidikan MI/SD sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos
kerja, disiplin, jujur, cerdas, dan bermoral. Sehingga, peserta didik setiap
saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya,
kemampuan intelektual, partisipasinya dalam belajar yang akan mampu memekarkan
seluruh potensi yang dimiliki setiap peserta didik secara integralistik dengan
memperhatikan seluruh tahapan perkembangan psikologis mereka.
PRINSIP-PRINSIP PROFESIONALISME GURU
DALAM MENGAJAR
Guru
perlu mengetahui dan dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat
melaksanakan tugasnya secara profesional (Hamzah B. Uno, 2010:16), yaitu
sebagai berikut: (1) guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik
pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat menggunakan berbagai media dan
sumber belajar yang bervariasi; (2) guru harus dapat membangkitkan minat
peserta didik untuk aktif dalam berpikir serta mencari dan menemukan
pengetahuan sendiri; (3) guru harus dapat membuat urutan (sequence)
dalam pemberian pelajaran dan penyesuaiannya dengan usia dan tahapan tugas
perkembangan peserta didik; (4) guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan
diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik, agar peserta
didik menjadi mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya; (5) sesuai dengan
prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan
unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi
jelas; (6) guru wajib memperhatikan korelasi antara mata pelajaran dengan
praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari; (7) guru harus tetap menjaga konsentrasi
belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman
secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang
didapatnya; (8) guru harus mengembangkan sikap peserta didik dalam membina
hubungan sosial, baik dalam kelas maupun di luar kelas; dan (9) guru harus
menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta didik secara individual agar dapat
melayani siswa sesuai dengan perbedaannya tersebut.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat diambil kesimpulan mengenai hakikat profesi dan pengakuan
profesi kependidikan. Profesi merupakan janji terbuka yang diucapkan dengan
sungguh-sungguh di hadapan orang lain, Tuhan, diri sendiri karena idealisme
seseorang untuk mengabdi seumur hidup demi mencapai kemaslahatan manusia. Kemudian,
jabatan guru telah mendapatkan pengakuan secara yuridis melalui UU No. 20 tahun
2003, UU No 14 Tahun 2005, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh
karena itu, profesi guru harus mendapatkan tempat yang istimewa dibandingkan
dengan pekerjaan lainnya yang bukan pekerjaan profesi.
Terkait
dengan kompetensi pendidik, dapat dijelaskan masing-masing kompetensi sebagai
berikut: (a) Kompetensi Pedagogik.
Guru memiliki pemahaman yang mendalam tentang ilmu pendidikan, landasan
kepribadian, karakteristik peserta didik, bimbingan dan konseling, administrasi
pendidikan, kurikulum dan evaluasi pendidikan, metode mengajar serta
keterampilan mengajar (keterampilan bertanya, menjawab pertanyaan, membuka dan
menutup pelajaran); (b) Kompetensi
Profesional. Guru memiliki pemahaman yang komprehensif tentang bidang studi
yang diajarkannya, dan memiliki komitmen untuk senantiasa meningkatkan kualitas
keilmuannya, baik dengan mengikuti pendidikan lebih lanjut, seminar-seminar
maupun pelatihan-pelatihan; (c) Kompetensi
Sosial. Guru memilki kemampuan untuk berinteraksi sosial secara positif
dengan orang lain, baik sesama guru, pimpinan sekolah, orang tua peserta didik,
peserta didik dan pihak lain; (d) Kompetensi
Kepribadian. Guru memilki karakteristik kepribadian yang mantap atau akhlak
mulia, sebagai suri tauladan, atau figur moral bagi peserta didik.
Karakteristik pribadi guru diantaranya adalah; ikhlas, sabar, jujur, rendah
hati, disiplin, istiqomah, bersikap respek, antusias, memiliki motif,
mencintai, bersikap ramah, lemah lembut, bersikap adil, bertutur kata yang
sopan, berpenampilan sederhana, mau bekerja sama dengan orang lain, bersikap
percaya diri.
HUBUNGAN
PROFESIONALISME DAN GURU
Sehubungan
dengan perlunya humanware dalam pendidikan di sekolah, lahirnya
Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada
pasal 8, yang menyebutkan bahwa “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”, telah
mengisyaratkan bahwa adanya tuntutan bagi guru di seluruh jenjang pendidikan
untuk memiliki kualifikasi akademik yang sesuai dengan pekerjaannya.
Landasan
hukum tersebut, secara otomatis telah mendesak berbagai perguruan tinggi untuk
mendirikan dan menyelenggarakan program Pendidikan Guru Madrasah Ibtidayah
(PGMI) atau Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Hal ini disebabkan karena
terdapatnya sebagian besar guru pada Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayah di daerah
Indonesia yang belum mengenyam pendidikan Strata Satu (S1). Dengan
terselenggaranya PGMI/PGSD, diharapkan dapat meningkatkan
kualitas dan profesionalitas guru di sekolah. Tentu saja dengan suatu
pertimbangan guru dalam pendidikan memainkan peranan yang vital bagi
terciptanya pendidikan yang bermutu dan membentuk peserta didik yang cerdas,
berkarakter, bermoral dan berkepribadian atau dalam bahasa UNESCO (1996)
seorang guru mampu moulding the character and mind of young generation.
Dikatakan vital, sebab guru merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat. Ibarat sebuah mata rantai, antara guru, peserta didik,
tujuan pendidikan, alat dan situasi pendidikan semua terikat secara sinergik
dalam membangun kualitas pendidikan secara totalitas. Akan tetapi, karena
pendidikan dilakukan oleh dan kepada manusia, maka faktor manusia dalam hal ini
guru menempati posisi sentral dalam pendidikan.
Guru
adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan
pengajaran, guru memegang peranan yang strategis dalam inovasi pelaksanaan dan
pengajaran di sekolah. Di kelas, guru adalah key person (pribadi kunci)
yang memimpin dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar para siswanya. Di mata
siswa, guru adalah seorang yang mempunyai otoritas bukan saja dalam bidang
akademis dan juga non akademis. Bahkan dalam masyarakat, guru dipandang sebagai
orang yang harus di guguh dan ditiru. Oleh sebab itulah, berdirinya PGMI/PGSD
bisa dikatakan sebagai upaya untuk dapat membawa perubahan dalam sistem
pendidikan di sekolah, dan melahirkan SDM yang handal serta tercapainya tujuan
yang diharapkan adanya tipologi guru yang memiliki karakteristik tertentu, yang
pada masa sekarang disebut guru yang berkompetensi. Guru yang berkompetensi
menggambarkan bahwa guru harus memiliki/menampilkan sosok kualitas personal
(kepribadian), profesional dan sosial dalam menjalankan tugasnya.
Seseorang
yang dikatakan profesional, menurut Muhaimin dalam Syamsul Ma’arif (2009),
“Bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya,
sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu
berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai
dengan tuntunan zamannya, yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas
mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya
di masa depan”. Sosok guru ideal yang diharapkan pendidikan sekarang adalah
seorang ilmuwan dengan ciri-ciri sebagai berikut; (1) Peka terhadap masalah,
Karena kepekaan seperti ini merupakan penggerak kreatifitas. Bagi ilmuwan yang
lebih penting adalah memikirkan pertanyaan untuk suatu jawaban daripada
menjawab pertanyaan yang sudah ada. (2) Bekerja tanpa pamrih, Dalam
dunia ilmu sikap tanpa pamrih biasanya diberi makna obyektif, cinta kebenaran
dan kritis. Tetapi bukan obyektif yang dingin, cinta kebenaran yang impersonal
atau sekedar membuka diri untuk selalu kritis dan bersedia menerima kritik.
Melainkan, sifat tanpa pamrih mendorong ilmuwan untuk tidak semata mengindahkan
kepentingan sendiri, sebaliknya harus membuka diri untuk setiap kebenaran
termasuk yang tidak berasal dari dirinya, bahkan bersedia mempertaruhkan diri
walaupun dengan itu seolah hakekat kemanusiaannya menjadi semu belaka. (3) Bersikap
bijaksana, kebijakan mengandung makna adanya hubungan timbal balik antara
pengenalan dan tindakan, antara pengertian praktis etis yang sesuai. (4) Tanggung
jawab, seorang ilmuwan berkewajiban mencari, menemukan dan memanfaatkan
ilmu bagi keperluan hidup umat manusia, sekaligus juga harus bertanggung jawab
atas apa yang terjadi selanjutnya jika dengan ilmu itu ternyata menimbulkan
kerusakan lingkungan di alam ini, lalu berusahalah ia untuk mencari lagi jalan
keluarnya. Dengan begitu, jelaslah bahwa sosok guru dengan karakter “Cerdas,
Kreatif, dan Beradab” adalah sosok yang sangat dibutuhkan pendidikan dasar di
Indonesia untuk menghadapi zaman globalisasi, yaitu sosok yang diharapkan
dengan memiliki berbagai macam kecerdasan di dalam dirinya, baik itu kecerdasan
fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan
kecerdasan spritual.
PARADIGMA PENDIDIKAN
BARU
Dalam
menentukan tujuan pendidikan ada beberapa nilai yang perlu diperhatikan,
seperti yang dikemukakan oleh Hummel dalam Sadulloh (2011: 73) antara lain: (1)
Autonomy. Gives individuals and groups the maximum awareness,
knowledge and ability so that they can manage their personal and collective
life to the greates possible extent. (2) Equity. Enable all
citizens to participate in cultural and economic life by coffering them an
equal basic education. (3) Survival. Permit every nation to
transmit and enrich its cultural heritage over the generations, but also guide
education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide
realizations of common destiny. Tujuan pendidikan harus mengandung nilai
tersebut. Pertama, Autonomy, yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan
kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok, untuk dapat hidup
mandiri, dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Kedua, Aquity (keadilan),
berarti bahwa tujuan pendidikan tersebut harus memberi kesempatan kepada
seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya
dan kehidupan ekonomi dengan memberinya pendidikan dasar yang sama. Ketiga, Survival,
yang berarti bahwa dengan pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari
satu generasi kepada generasi berikutnya. Berdasarkan ketiga nilai tersebut,
pendidikan mengemban tugas untuk menghasilkan generasi yang lebih baik,
manusia-manusia yang berkebudayaan. Manusia sebagai individu yang memiliki
kepribadian yang lebih baik. Nilai-nilai di atas menggambarkan pendidikan dalam
suatu konteks yang sangat luas, menyangkut kehidupan seluruh umat manusia, dimana
digambarkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan suatu kehidupan
yang lebih baik. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan dasar dan
sekaligus tujuan yang ingin dicapai dalam melaksanakan pendidikan. Kegiatan
pendidikan ditujukan untuk menghasilkan manusia seutuhnya, manusia yang
memiliki kepribadian yang lebih baik, yaitu manusia di mana sikap dan
prilakunya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dijiwai oleh nilai-nilai
Pancasila. Manusia seutuhnya, manusia yang menghayati dan sekaligus mampu
mengamalkan Pancasila.
Munculnya
berbagai perubahan yang sangat cepat hampir di semua lini kehidupan, dan telah
menggeser paradigma lama menjadi paradigma baru. Seiring dengan itu pula,
pendidikan mencoba merespon setiap perubahan yang terjadi. Dengan maksud, agar
kualitas yang dihasilkan pendidikan tidak lagi dinilai kadaluwarsa dan tidak
peka terhadap perkembangan zaman. Dengan itu pendidikan melakukan
perubahan-perubahan di beberapa hal diantaranya telah dikembangkannya kurikulum
baru dan dikembangkannya berbagai metode dan model pendidikan terbaru.
Kurikulum dan model maupun metode tersebut berbeda jauh dari metode dan model
lama. Model dan metode baru ini lebih menekankan pada peran dan aktivitas
peserta didik ketimbang dominasi guru di dalam kelas. Disamping itu model dan
metode baru ini lebih membawa peserta didik pada kenyataan yang ada
disekelilingnya, ketimbang menjejali mereka dengan teori-teori yang
“mengawang”.
Semua
materi yang di ajarkan di sekolah merupakan salah satu mata pelajaran yang
harus mengikuti standar kurikulum baru tersebut. Dalam rangka mencapai standar
isi, artinya bahwa materi yang diajarkan diarahkan untuk menyiapkan peserta
didik untuk mengenal, memahami, dan menghayati peristiwa yang ada dalam
kehidupan yang kemudian bisa menjadi inspirasi bagus dasar pandangan hidupnya (way
of life) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan
pengalaman, pembiasaan, dan keteladanan. Namun ada satu hal yang sangat
mendasar terkait dengan pengajaran materi di sekolah dasar ini, adalah
kemampuan guru dalam menggali nilai, makna, aksioma, hikmah, dalil, dan teori
dari fakta-fakta yang ada. Materi yang disampaikan guru hendaknya tidak
berhenti pada transfer of knowledge, tetapi juga merupakan pendidikan
nilai (value).
Kondisi
terpuruknya pendidikan di Indonesia dibanding negara-negara lain tersebut,
tentunya menjadi dorongan sekaligus tantangan khususnya bagi guru untuk selalu
membenahi diri dan meningkatkan kompetensinya agar mampu meningkatkan sumber
daya manusia sekaligus menanamkan nilai-nilai ajaran agama secara efektif
kepada peserta didiknya. Selain itu, para guru harus menyadari bahwa salah satu
penyebab kegagalan pendidikan di Indonesia selama ini adalah masih
mengembangkan model doktrinisasi dogmatikal, bukan pendidikan yang komunikatif
transformatif. Maka materi-materi pendidikan, biasanya hanya singgah di kepala
peserta didik sebentar menjelang saat ujian dan setelah itu “terlupakan”, tidak
pernah masuk ke hati dan tidak pernah dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Semua yang dipelajari di sekolah tidak dilakukan dalam kerangka mengembangkan
pribadi dan menghayati kehidupan yang bersih lahir dan batin, tetapi hanya
sekedar untuk memenuhi tuntutan ritual formal. Disinilah letak pentingnya para
guru untuk mengajarkan materi yang lebih “bermakna” dengan penekanan pendidikan
yang seimbang, tidak hanya didominasi kecerdasan intelektual semata, melainkan
juga melibatkan emosi. Konsep pembelajaran aktif tersebut tentu saja berbeda
dengan konsep pembelajaran yang selama ini terjadi. Karena dengan active
learning, proses pembelajaran berpindah dari situasi “teacher dominated
learning” ke situasi “student dominated learning”. Siswa disini
lebih dipandang sebagai manusia dengan segala potensi yang dimilikinya. Guru hanya
sebagai fasilitator sekaligus teman dalam mencari ilmu pengetahuan. Karena
posisi siswa sebagai subyek dan aktor dalam proses belajar mengajar, maka
kemungkinan siswa lebih aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran.
DAFTAR
REFERENSI
Danim, Sudarwan. (2002). Inovasi
Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan.
Bandung: Pustaka Setia.
Ma’arif, Syamsul.
(2009). Selamatkan Pendidikan Dasar Kita. Semarang: Need’s Press.
Mulyasa. (2013). Uji
Kompetensi dan Penilaian Kinerja Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sadulloh, Uyoh. (2011).
Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta.
Sudjana, N. (1988). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar.
Bandung: Sinar Baru.
Supriadi, D. (1999). Mengangkat Citra dan Martabat Guru.
Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Suprihatiningrum, Jamil. (2013). Guru Profesional: Pedoman Kinerja, Kualifikasi, & Kompetensi Guru.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Undang - Undang RI Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen.
Undang - Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Uno, Hamzah.
(2010). Profesi Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar