Selasa, 09 Oktober 2018

KEBIJAKAN PENDIDIKAN SD MENUJU PARADIGMA BARU MELALUI PROFESIONALISME GURU


LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, baik dalam kehidupan keluarga, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maju mundurnya suatu bangsa akan ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan dari suatu bangsa tersebut. Karena pada hakikatnya pendidikan masih diyakini oleh banyak kalangan sebagai upaya strategis untuk melakukan perubahan, dan merupakan bentuk upaya ikhtiar dalam membentuk pribadi manusia serta mempersiapkan generasi muda untuk mengarungi bahtera kehidupan yang lebih baik dimasa yang akan datang. Sementara itu, guru sebagai sutradara pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Dimana tugas guru salah satunya harus dapat memberikan informasi pengetahuan yang optimal kepada siswa. Memberikan pengetahuan pada siswa bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan guru mengingat beragam pola tingkah laku yang dimiliki siswa di dalam kelas, membuat guru harus mengatasi berbagai macam hal yang terjadi di kelas.
Menurut UU No. 14 tahun 2005, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Jadi, guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik.
Kualitas guru Indonesia pada saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. (Dalam Pasal 8 UU Guru dan Dosen), dikemukakan bahwa “guru wajib memiliki kualifikasi akan kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani dan memiliki kemampuan untuk mewujutkan tujuan pendidikan nasional”. Konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah perlunya suatu sistem pengujian terhadap kompetensi sebagai acuan untuk mengetahui apakah guru-guru memenuhi standar guru di Indonesia.
Berbagai masalah tentang guru beredar di masyarakat kita bahwa profesi sebagai pendidik adalah profesi yang tidak menjanjikan dan bahkan berposisi sebagai profesi yang nomor sekian di bawah profesi-profesi lain. Bahkan hal itu sudah menjadi konvensi yang mengakar dalam pola pikir masyarakat kita. Akibatnya, banyak orang yang menjadikan profesi guru sebagai profesi loncatan atau sebagai terminal terakhir setelah mencapai kegagalan dalam mencari profesi lain. Kalau sudah begini, apakah mungkin dunia pendidikan akan melahirkan manusia-manusia berkualitas dan bermoral serta peradaban yang bisa membangun negeri ini menuju ke puncak kejayaannya, sedangkan para pendidiknya berangkat dari unsur keterpaksaan dan tidak berasal dari hati nuraninya untuk menjadi pendidik? Bagaimana mungkin pendidik bisa mengajarkan sesuatu yang benar secara nurani dan bermoral dari segi perilaku, sedangkan  pola dan paradigma kehidupannya sudah tidak berangkat dari jalur yang benar?
Dari berbagai pernyataan tersebut, tentulah bisa diprediksi bagaimana guru karbitan tersebut mendidik anak didiknya. Profesionalisme profesi guru pun menjadi tidak ada artinya dan hanya menjadi semboyan belaka, sebab cara mendidiknya tentu saja tidak profesional dan tidak mengerti cara mendidik yang benar dan tepat sehingga bisa melahirkan generasi penerus yang mumpuni dan berpendidikan secara holistik. Karena tentu saja guru karbitan tidak akan mengerti bagaimana cara mendidik yang baik, bagaimana cara mengajarkan suatu pelajaran, bagaimana cara menguasai kelas dengan baik, serta bagaimana memberikan suatu pelajaran secara efektif dan efisien sesuai dengan standar-standar pengajaran dengan berbagai metode dan strategi pengajarannya. Bahkan, jangankan guru karbitan, guru yang sudah bergerak dari jalur guru sejak awalnya pun belum tentu bisa menguasai berbagai metode dan strategi pengajaran dengan baik dalam proses pembelajaran di kelas.



UPAYA PERUBAHAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN PROFESI GURU
Masalah utama yang dihadapi bangsa kita saat ini adalah rendahnya kualitas hidup manusia yang ditunjukkan oleh rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain di dunia. Oleh karena itu, upaya bangsa untuk meningkatkan kualitas hidup manusia menjadi sangat strategis dan menentukan sebagai kunci sukses memasuki pasar global di abad ini. Pemberdayaan profesi guru dipandang sebagai bagian utama peningkatan kualitas mutu hidup manusia, karena guru adalah salah satu kelompok strategis keberlanjutan bangsa.
Hal ini merupakan komitmen bangsa bahwa menghormati, memenuhi, dan menjamin hak guru adalah tanggung jawab negara, pemerintah, dan masyarakat. Dengan fokus pada sistem pendidikan profesi guru, maka sekaligus percepatan pencapaian target mencapai kualitas hidup manusia di tahun 2015 sebagai tujuan bersama Mellinium Development Goals (MDGs) dan World Fit For Children (WFFC) dapat dicapai.
Profesi sebagai guru memiliki peran yang sangat strategis dalam proses pencerdasan, pembudayaan, dan pembangunan karakter bangsa. Pencanangan guru sebagai jabatan profesi dan menjadi modal dasar dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional secara komprehensif. Dengan tugas-tugas seperti yang tertera dalam UU Nomor 14 Tahun 2005, guru menjadi faktor kunci dan “the front liner” dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan mutu pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Sebagai konsekuensinya, guru harus memiliki kemampuan yang memadai dan terstandar untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan serta mempunyai keinginan dalam mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas.
Mutu dan profesionalitas guru sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek pendidikan dan/atau pelatihan lanjutan yang dialaminya pada saat memangku jabatan sebagai guru (in-service teacher training). Permasalahan yang sering muncul dalam pelaksanaan pendidikan/pelatihan guru dalam jabatan, di antaranya: (a) materi penataran yang diberikan bukan yang dibutuhkan oleh guru; (b) penatar sering tidak lebih bermutu pengetahuannya dan juga tidak lebih lama pengalamannya dari yang ditatar; (c) kegiatan penataran biasanya diselenggarakan pada jam efektif di mana para guru seharusya mengajar; (d) penataran dipandang guru hanya sebagai paksaan untuk memperoleh sertifikat; dan (e) penyelenggaraan pelatihan pada umumnya sangat berorientasi pada proyek. Permasalah-permasalahan tersebut akan berakibat terhadap rendahnya kualitas kinerja guru yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh juga terhadap perolehan hasil belajar siswa yang diajarnya di sekolah.
Kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat cepat menimbulkan perkembangan yang cepat pula dalam berbagai bidang kehidupan. Perkembangan teknologi informasi membawa masyarakat ke arah kehidupan yang lebih terbuka, komunikasi yang akurat dan cepat ke seluruh penjuru tanah air bahkan ke seluruh dunia, serta sarana transportasi yang semakin canggih memperpendek jarak antardaerah dan negara. Semuanya membawa kepada tatanan kehidupan yang bersifat global, menghilangkan batas-batas antarbangsa, negara, dan benua. Dalam kehidupan yang demikian, terdapat tuntutan yang semakin tinggi dan persaingan yang semakin ketat. Masalah mutu, baik mutu produk maupun mutu layanan adalah hal yang tidak dapat ditawar lagi dari mereka yang mampu memberikan sesuatu yang bermutu, mampu bersaing dalam kehidupan global dan berkinerja secara profesional. Profesionalisme menjadi syarat mutlak untuk dapat berkiprah pada era informasi, era globalisasi, baik secara regional, nasional, maupun internasional.
Menurut Suprihatiningrum (2013: 70) guru profesional adalah guru yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru harus mengetahui, memahami, dan menguasai berbagai strategi dan teknik pembelajaran, menguasai landasan-landasan kependidikan, serta menguasai bidang studi yang diajarkan.
Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 2, guru dikatakan sebagai tenaga profesional yang mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Selanjutnya Undang-undang No. 20 Tahun 2003, Pasal 39 Ayat 2 menjelaskan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Menurut Suprihatiningrum (2013: 24) orang yang disebut pendidik atau guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran, serta mampu menata dan mengelola kelas agar siswa dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Guru seharusnya melalui pendidikan mampu membantu anak didik untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.
Di mata siswa, guru adalah seorang yang mempunyai otoritas bukan saja dalam bidang akademis, melainkan juga dalam bidang non akademis. Bahkan dalam masyarakat, guru dipandang sebagai orang yang harus di gugu dan di tiru. Pengaruh guru terhadap siswanya sangat besar. Faktor-faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati misalnya memegang peranan penting dalam interaksi sosial. Oleh sebab itulah, berdirinya PGMI/PGSD sebagai wadah untuk membentuk dan mewujudkan guru yang profesional bisa dikatakan sebagai upaya untuk dapat membawa perubahan dalam sistem pendidikan di sekolah dan melahirkan SDM yang handal serta tercapainya tujuan yang diharapkan agar tercapainya tipologi guru yang memiliki karakteristik tertentu, yang pada masa sekarang disebut dengan guru berkompetensi. Guru yang berkompetensi menggambarkan bahwa guru harus memiliki dan menampilkan sosok kualitas personal (kepribadian), pedagogik, profesional, serta sosial dalam menjalankan tugasnya.
Profesionalitas guru MI/SD melalui PGMI/PGSD sangat tepat momentumnya bagi perkembangan pendidikan di sekolah karena didasarkan pada realitas di lapangan bahwa masalah kompetensi dan profesionalitas mereka dalam menjalankan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah menghadapi permasalahan dan kritik dari berbagai pihak. Di antara kritik yang patut di cermati adalah bahwa pendidikan di sekolah lebih berkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis yang bersifat kognitif semata, kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan tersebut menjadi makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan ke dalam jiwa siswa. Tamatan PGMI/PGSD diharapkan akan mampu menjawab semua kritikan seperti ini dengan melahirkan pendidikan yang kreatif dan inovatif. Tentu saja dengan cara pandang teori-teori ke MI-an/ke SD-an, selama mereka mengikuti program pendidikan ini seorang guru MI/SD akan dipandang cakap dan memiliki kompetensi mampu mengajar anak-anak secara efektif dan holistik.

PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU MI/SD
Arus dinamika masyarakat terus mengalir dan bergerak menuju ke samudera modernisme kehidupan masyarakat yang di dalamnya mengandung unsur harapan, di samping kecemasan dan keresahan sosial. Perkembangan global yang terjadi saat ini bisa jadi akan menuju arah yang positif dan bisa pula ke arah yang negatif, tergantung siapa yang paling banyak menginstal konsep-konsep, pemikiran-pemikiran, budaya dan nilai ke dalamnya. Dalam kondisi yang demikianlah kita berbicara mengenai kiprah pendidikan dalam pemberdayaan manusia Indonesia di kancah globalisasi.
Berbicara tentang kaitan antara pendidikan dan globalisasi, tentu saja kita juga harus membicarakan mengenai “sosok guru ideal” yang di harapkan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, profil sosok guru ideal bagaimana sebenarnya yang diharapkan oleh sistem pendidikan dalam menghadapi globalisasi tersebut? Tentu saja, profil guru yang diharapkan dunia pendidikan adalah tidak sesederhana seperti gambaran dan impian orang-orang tua kita dahulu, yaitu seseorang yang biasanya bergaya dan berpakaian seperti layaknya guru dan mengajar di kelas, sementara ia tidak tahu apa-apa tentang perkembangan dunia luar. Profil guru seperti ini tidak lah salah namun sudah saatnya untuk “dirubah” dengan “sosok” yang selain memiliki keahlian dalam mengajar, juga harus memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan anak-anak mereka dalam menghadapi dan mengantisipasi perkembangan zaman.
Seseorang yang dikatakan profesional, menurut Muhaimin dalam Syamsul Ma’arif (2009: 105), “bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntunan zamannya, yang dilandasi oleh kesadaran tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya di masa depan”.
Sosok guru ideal yang diharapkan pendidikan sekarang adalah seorang ilmuwan dengan ciri-ciri sebagai berikut; (1) Peka terhadap masalah, Karena kepekaan seperti ini merupakan penggerak kreatifitas. Bagi ilmuwan yang lebih penting adalah memikirkan pertanyaan untuk suatu jawaban daripada menjawab pertanyaan yang sudah ada; (2) Bekerja tanpa pamrih, Dalam dunia ilmu sikap tanpa pamrih biasanya diberi makna obyektif, cinta kebenaran dan kritis. Tetapi bukan obyektif yang dingin, cinta kebenaran yang impersonal atau sekedar membuka diri untuk selalu kritis dan bersedia menerima kritik. Melainkan, sifat tanpa pamrih mendorong ilmuwan untuk tidak semata mengindahkan kepentingan sendiri, sebaliknya harus membuka diri untuk setiap kebenaran termasuk yang tidak berasal dari dirinya, bahkan bersedia mempertaruhkan diri walaupun dengan itu seolah hakekat kemanusiaannya menjadi semu belaka; (3) Bersikap bijaksana, kebijakan mengandung makna adanya hubungan timbal balik antara pengenalan dan tindakan, antara pengertian praktis etis yang sesuai; (4) Tanggung jawab, seorang ilmuwan berkewajiban mencari, menemukan dan memanfaatkan ilmu bagi keperluan hidup umat manusia, sekaligus juga harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi selanjutnya jika dengan ilmu itu ternyata menimbulkan kerusakan lingkungan di alam ini, lalu berusahalah ia untuk mencari lagi jalan keluarnya. Dengan begitu, jelaslah bahwa sosok guru dengan karakter “Cerdas, Kreatif, dan Beradab” adalah sosok yang sangat dibutuhkan pendidikan dasar di Indonesia untuk menghadapi zaman globalisasi, yaitu sosok yang diharapkan dengan memiliki berbagai macam kecerdasan di dalam dirinya, baik itu kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spritual.
Kenapa “sosok” guru dengan berbagai macam kecerdasan tersebut sangat dibutuhkan di era globalisasi? Karena, dalam konteks globalisasi ini berbagai perubahan dalam kehidupan yang menjadi ciri utamanya adalah keterampilan mentransfer pengetahuan tertentu yang sangat spesifik konteksnya sehingga diperlukan transferable knowledge. Transferable knowledge ini harus memiliki komponen-komponen yang jelas dan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata, yang berarti pengetahuan yang diajarkan kepada siswa tidak hanya bersifat teoritik tetapi juga praktik, sehingga potensi yang harus dikembangkan adalah kreativitas dan peningkatan kecerdasan siswa secara stimulan dalam dimensi moral.
Selain itu, dalam memasuki era globalisasi yang ditandai dengan berbagai kemajuan pada aspek-aspek tertentu dalam kehidupan umat manusia dan biasanya terjadi pergaulan global yang dicirikan sebagai berikut: Pertama, terjadi pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan perdagangan, investasi, dan informasi. Kedua, hubungan antarnegara/bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan kearah saling ketergantungan. Ketiga, batas-batas geografi hampir kehilangan arti operasionalnya. Kekuatan suatu negara dan komunitas dalam interaksinya dengan negara ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keempat, persaingan antarnegara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai, dan norma yang secara ekonomi dianggap tidak efisien.
Menghadapi fenomena globalisasi semacam itu, sekarang ini telah memunculkan “trend pendidikan” yang lebih berorientasi pada pengembangan potensi manusia, bukan memusatkan pada kemampuan teknikal dalam melakukan eksplorasi dan ekspoitasi alam. Pergeseran ini didorong tidak hanya oleh kenyataan terjadinya krisis ekologi tetapi juga oleh hasil riset terutama dalam bidang neuropsikologi yang menunjukkan bahwa potensi manusia masih sangat sedikit. Dengan begitu, masa depan peradaban manusia masih sulit diramalkan karena akan terjadi berbagai inovasi yang mengejutkan, baik dalam aspeknya yang positif maupun negatif.
Tentu saja, dalam menghadapi kasus seperti itu pendidikan nasional harus segera mewujudkan apa yang telah menjadi fungsi dan tujuannya dalam Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 3, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembanganya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk merealisaikan fungsi dan tujuan pendidikan nasional mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diharapkan. Pendidikan nasional melalui PGSD/PGMI harus menumbuhkan prakarsa dan memekarkan potensi kreatif pada peserta didiknya dengan berbagai macam kecerdasan.
Pendidikan nasional harus segera memperhatikan berbagai macam kecerdasan yang harus dikembangkan, karena dalam menghadapi globalisasi unsur yang paling penting adalah bagaimana kita bisa mengoptimalkan potensi “mind” dan “brain” pada diri siswa untuk meraih prestasi peradaban secara cepat dan efektif. Maka masing-masing kecerdasan dalam diri siswa harus ditumbuhkembangkan secara proporsional dan seimbang. Ini berarti pendidikan yang “demokratis” harus memberlakukan beragam metode yang menggali kemampuan siswa untuk berperan secara aktif, dengan mengakui perbedaan kemampuan intelektual, kecepatan belajar, sifat, sikap, dan minatnya.
Kebijaksanaan pendidikan yang harus diutamakan adalah membantu setiap mahasiswa (sebagai calon guru MI/SD nantinya) dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan: (1) menyediakan guru profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga, dan ruang gururuang bermain yang memadai; (3) menyediakan media pembelajaran yang inovatif, sehingga memungkinkan peserta didik dapat secara terus menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar; dan (4) evaluasi yang terus menerus, komprehensif, dan obyektif.
Menjadikan pendidikan MI/SD sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos kerja, disiplin, jujur, cerdas, dan bermoral. Sehingga, peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya dalam belajar yang akan mampu memekarkan seluruh potensi yang dimiliki setiap peserta didik secara integralistik dengan memperhatikan seluruh tahapan perkembangan psikologis mereka.

PRINSIP-PRINSIP PROFESIONALISME GURU DALAM MENGAJAR
Guru perlu mengetahui dan dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara profesional (Hamzah B. Uno, 2010:16), yaitu sebagai berikut: (1) guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat menggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi; (2) guru harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berpikir serta mencari dan menemukan pengetahuan sendiri; (3) guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pelajaran dan penyesuaiannya dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik; (4) guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik, agar peserta didik menjadi mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya; (5) sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas; (6) guru wajib memperhatikan korelasi antara mata pelajaran dengan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari; (7) guru harus tetap menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya; (8) guru harus mengembangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan sosial, baik dalam kelas maupun di luar kelas; dan (9) guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta didik secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaannya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan mengenai hakikat profesi dan pengakuan profesi kependidikan. Profesi merupakan janji terbuka yang diucapkan dengan sungguh-sungguh di hadapan orang lain, Tuhan, diri sendiri karena idealisme seseorang untuk mengabdi seumur hidup demi mencapai kemaslahatan manusia. Kemudian, jabatan guru telah mendapatkan pengakuan secara yuridis melalui UU No. 20 tahun 2003, UU No 14 Tahun 2005, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, profesi guru harus mendapatkan tempat yang istimewa dibandingkan dengan pekerjaan lainnya yang bukan pekerjaan profesi.
Terkait dengan kompetensi pendidik, dapat dijelaskan masing-masing kompetensi sebagai berikut: (a) Kompetensi Pedagogik. Guru memiliki pemahaman yang mendalam tentang ilmu pendidikan, landasan kepribadian, karakteristik peserta didik, bimbingan dan konseling, administrasi pendidikan, kurikulum dan evaluasi pendidikan, metode mengajar serta keterampilan mengajar (keterampilan bertanya, menjawab pertanyaan, membuka dan menutup pelajaran); (b) Kompetensi Profesional. Guru memiliki pemahaman yang komprehensif tentang bidang studi yang diajarkannya, dan memiliki komitmen untuk senantiasa meningkatkan kualitas keilmuannya, baik dengan mengikuti pendidikan lebih lanjut, seminar-seminar maupun pelatihan-pelatihan; (c) Kompetensi Sosial. Guru memilki kemampuan untuk berinteraksi sosial secara positif dengan orang lain, baik sesama guru, pimpinan sekolah, orang tua peserta didik, peserta didik dan pihak lain; (d) Kompetensi Kepribadian. Guru memilki karakteristik kepribadian yang mantap atau akhlak mulia, sebagai suri tauladan, atau figur moral bagi peserta didik. Karakteristik pribadi guru diantaranya adalah; ikhlas, sabar, jujur, rendah hati, disiplin, istiqomah, bersikap respek, antusias, memiliki motif, mencintai, bersikap ramah, lemah lembut, bersikap adil, bertutur kata yang sopan, berpenampilan sederhana, mau bekerja sama dengan orang lain, bersikap percaya diri.

HUBUNGAN PROFESIONALISME DAN GURU
Sehubungan dengan perlunya humanware dalam pendidikan di sekolah, lahirnya Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 8, yang menyebutkan bahwa “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”, telah mengisyaratkan bahwa adanya tuntutan bagi guru di seluruh jenjang pendidikan untuk memiliki kualifikasi akademik yang sesuai dengan pekerjaannya.
Landasan hukum tersebut, secara otomatis telah mendesak berbagai perguruan tinggi untuk mendirikan dan menyelenggarakan program Pendidikan Guru Madrasah Ibtidayah (PGMI) atau Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Hal ini disebabkan karena terdapatnya sebagian besar guru pada Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayah di daerah Indonesia yang belum mengenyam pendidikan Strata Satu (S1). Dengan terselenggaranya PGMI/PGSD, diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan profesionalitas guru di sekolah. Tentu saja dengan suatu pertimbangan guru dalam pendidikan memainkan peranan yang vital bagi terciptanya pendidikan yang bermutu dan membentuk peserta didik yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian atau dalam bahasa UNESCO (1996) seorang guru mampu moulding the character and mind of young generation. Dikatakan vital, sebab guru merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Ibarat sebuah mata rantai, antara guru, peserta didik, tujuan pendidikan, alat dan situasi pendidikan semua terikat secara sinergik dalam membangun kualitas pendidikan secara totalitas. Akan tetapi, karena pendidikan dilakukan oleh dan kepada manusia, maka faktor manusia dalam hal ini guru menempati posisi sentral dalam pendidikan.
Guru adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, guru memegang peranan yang strategis dalam inovasi pelaksanaan dan pengajaran di sekolah. Di kelas, guru adalah key person (pribadi kunci) yang memimpin dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar para siswanya. Di mata siswa, guru adalah seorang yang mempunyai otoritas bukan saja dalam bidang akademis dan juga non akademis. Bahkan dalam masyarakat, guru dipandang sebagai orang yang harus di guguh dan ditiru. Oleh sebab itulah, berdirinya PGMI/PGSD bisa dikatakan sebagai upaya untuk dapat membawa perubahan dalam sistem pendidikan di sekolah, dan melahirkan SDM yang handal serta tercapainya tujuan yang diharapkan adanya tipologi guru yang memiliki karakteristik tertentu, yang pada masa sekarang disebut guru yang berkompetensi. Guru yang berkompetensi menggambarkan bahwa guru harus memiliki/menampilkan sosok kualitas personal (kepribadian), profesional dan sosial dalam menjalankan tugasnya.
Seseorang yang dikatakan profesional, menurut Muhaimin dalam Syamsul Ma’arif (2009), “Bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntunan zamannya, yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya di masa depan”. Sosok guru ideal yang diharapkan pendidikan sekarang adalah seorang ilmuwan dengan ciri-ciri sebagai berikut; (1) Peka terhadap masalah, Karena kepekaan seperti ini merupakan penggerak kreatifitas. Bagi ilmuwan yang lebih penting adalah memikirkan pertanyaan untuk suatu jawaban daripada menjawab pertanyaan yang sudah ada. (2) Bekerja tanpa pamrih, Dalam dunia ilmu sikap tanpa pamrih biasanya diberi makna obyektif, cinta kebenaran dan kritis. Tetapi bukan obyektif yang dingin, cinta kebenaran yang impersonal atau sekedar membuka diri untuk selalu kritis dan bersedia menerima kritik. Melainkan, sifat tanpa pamrih mendorong ilmuwan untuk tidak semata mengindahkan kepentingan sendiri, sebaliknya harus membuka diri untuk setiap kebenaran termasuk yang tidak berasal dari dirinya, bahkan bersedia mempertaruhkan diri walaupun dengan itu seolah hakekat kemanusiaannya menjadi semu belaka. (3) Bersikap bijaksana, kebijakan mengandung makna adanya hubungan timbal balik antara pengenalan dan tindakan, antara pengertian praktis etis yang sesuai. (4) Tanggung jawab, seorang ilmuwan berkewajiban mencari, menemukan dan memanfaatkan ilmu bagi keperluan hidup umat manusia, sekaligus juga harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi selanjutnya jika dengan ilmu itu ternyata menimbulkan kerusakan lingkungan di alam ini, lalu berusahalah ia untuk mencari lagi jalan keluarnya. Dengan begitu, jelaslah bahwa sosok guru dengan karakter “Cerdas, Kreatif, dan Beradab” adalah sosok yang sangat dibutuhkan pendidikan dasar di Indonesia untuk menghadapi zaman globalisasi, yaitu sosok yang diharapkan dengan memiliki berbagai macam kecerdasan di dalam dirinya, baik itu kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spritual.

PARADIGMA PENDIDIKAN BARU
Dalam menentukan tujuan pendidikan ada beberapa nilai yang perlu diperhatikan, seperti yang dikemukakan oleh Hummel dalam Sadulloh (2011: 73) antara lain: (1) Autonomy. Gives individuals and groups the maximum awareness, knowledge and ability so that they can manage their personal and collective life to the greates possible extent. (2) Equity. Enable all citizens to participate in cultural and economic life by coffering them an equal basic education. (3) Survival. Permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generations, but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realizations of common destiny. Tujuan pendidikan harus mengandung nilai tersebut. Pertama, Autonomy, yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok, untuk dapat hidup mandiri, dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Kedua, Aquity (keadilan), berarti bahwa tujuan pendidikan tersebut harus memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi dengan memberinya pendidikan dasar yang sama. Ketiga, Survival, yang berarti bahwa dengan pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Berdasarkan ketiga nilai tersebut, pendidikan mengemban tugas untuk menghasilkan generasi yang lebih baik, manusia-manusia yang berkebudayaan. Manusia sebagai individu yang memiliki kepribadian yang lebih baik. Nilai-nilai di atas menggambarkan pendidikan dalam suatu konteks yang sangat luas, menyangkut kehidupan seluruh umat manusia, dimana digambarkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan suatu kehidupan yang lebih baik. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan dasar dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai dalam melaksanakan pendidikan. Kegiatan pendidikan ditujukan untuk menghasilkan manusia seutuhnya, manusia yang memiliki kepribadian yang lebih baik, yaitu manusia di mana sikap dan prilakunya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Manusia seutuhnya, manusia yang menghayati dan sekaligus mampu mengamalkan Pancasila.
Munculnya berbagai perubahan yang sangat cepat hampir di semua lini kehidupan, dan telah menggeser paradigma lama menjadi paradigma baru. Seiring dengan itu pula, pendidikan mencoba merespon setiap perubahan yang terjadi. Dengan maksud, agar kualitas yang dihasilkan pendidikan tidak lagi dinilai kadaluwarsa dan tidak peka terhadap perkembangan zaman. Dengan itu pendidikan melakukan perubahan-perubahan di beberapa hal diantaranya telah dikembangkannya kurikulum baru dan dikembangkannya berbagai metode dan model pendidikan terbaru. Kurikulum dan model maupun metode tersebut berbeda jauh dari metode dan model lama. Model dan metode baru ini lebih menekankan pada peran dan aktivitas peserta didik ketimbang dominasi guru di dalam kelas. Disamping itu model dan metode baru ini lebih membawa peserta didik pada kenyataan yang ada disekelilingnya, ketimbang menjejali mereka dengan teori-teori yang “mengawang”.
Semua materi yang di ajarkan di sekolah merupakan salah satu mata pelajaran yang harus mengikuti standar kurikulum baru tersebut. Dalam rangka mencapai standar isi, artinya bahwa materi yang diajarkan diarahkan untuk menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, dan menghayati peristiwa yang ada dalam kehidupan yang kemudian bisa menjadi inspirasi bagus dasar pandangan hidupnya (way of life) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan pengalaman, pembiasaan, dan keteladanan. Namun ada satu hal yang sangat mendasar terkait dengan pengajaran materi di sekolah dasar ini, adalah kemampuan guru dalam menggali nilai, makna, aksioma, hikmah, dalil, dan teori dari fakta-fakta yang ada. Materi yang disampaikan guru hendaknya tidak berhenti pada transfer of knowledge, tetapi juga merupakan pendidikan nilai (value).
Kondisi terpuruknya pendidikan di Indonesia dibanding negara-negara lain tersebut, tentunya menjadi dorongan sekaligus tantangan khususnya bagi guru untuk selalu membenahi diri dan meningkatkan kompetensinya agar mampu meningkatkan sumber daya manusia sekaligus menanamkan nilai-nilai ajaran agama secara efektif kepada peserta didiknya. Selain itu, para guru harus menyadari bahwa salah satu penyebab kegagalan pendidikan di Indonesia selama ini adalah masih mengembangkan model doktrinisasi dogmatikal, bukan pendidikan yang komunikatif transformatif. Maka materi-materi pendidikan, biasanya hanya singgah di kepala peserta didik sebentar menjelang saat ujian dan setelah itu “terlupakan”, tidak pernah masuk ke hati dan tidak pernah dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Semua yang dipelajari di sekolah tidak dilakukan dalam kerangka mengembangkan pribadi dan menghayati kehidupan yang bersih lahir dan batin, tetapi hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan ritual formal. Disinilah letak pentingnya para guru untuk mengajarkan materi yang lebih “bermakna” dengan penekanan pendidikan yang seimbang, tidak hanya didominasi kecerdasan intelektual semata, melainkan juga melibatkan emosi. Konsep pembelajaran aktif tersebut tentu saja berbeda dengan konsep pembelajaran yang selama ini terjadi. Karena dengan active learning, proses pembelajaran berpindah dari situasi “teacher dominated learning” ke situasi “student dominated learning”. Siswa disini lebih dipandang sebagai manusia dengan segala potensi yang dimilikinya. Guru hanya sebagai fasilitator sekaligus teman dalam mencari ilmu pengetahuan. Karena posisi siswa sebagai subyek dan aktor dalam proses belajar mengajar, maka kemungkinan siswa lebih aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran.

DAFTAR REFERENSI
Danim, Sudarwan. (2002). Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Ma’arif, Syamsul. (2009). Selamatkan Pendidikan Dasar Kita. Semarang: Need’s Press.
Mulyasa. (2013). Uji Kompetensi dan Penilaian Kinerja Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sadulloh, Uyoh. (2011). Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta.
Sudjana, N. (1988). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Supriadi, D. (1999). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Suprihatiningrum, Jamil. (2013). Guru Profesional: Pedoman Kinerja, Kualifikasi, & Kompetensi Guru. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Undang - Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang - Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Uno, Hamzah. (2010). Profesi Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar