Jumat, 12 Oktober 2018

Sosok Guru SD Ideal yang Memegang Prinsip Profesionalisme dalam Menghadapi Era Globalisasi



A.  Latar Belakang dan Permasalahan
Era globalisasi menuntut kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Upaya menyiapkan sumber daya manusia yang unggul salah satunya dapat dicapai melalui pendidikan. Kualitas SDM sangat erat kaitannya dengan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan adalah keadaan baik dan kurang baiknya kondisi, layanan, dan hasil pendidikan berdasarkan kriteria ideal dan harapan masyarakat. Pendidikan dikatakan berkualitas jika sesuai dengan indikator utama seperti kondisi, layanan, dan hasil pendidikan yang sesuai atau melebihi harapan pihak yang berkepentingan (stakeholder). Salah satu aspek penting yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan yaitu ketersediaan guru yang berkualitas dan sesuai dengan standar pendidik dan tenaga kependidikan yang telah ditetapkan. Standar yang dimaksud berkaitan dengan kualifikasi akademik dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Guru harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Perkembangan yang pesat dalam bidang pendidikan selama empat dekade terakhir ini telah membawa berbagai masalah berkenaan dengan pengadaan dan pendayagunaan guru di Indonesia. Secara kuantitatif, masalah itu mencakup perhitungan kebutuhan, pengadaan, dan penyebaran guru. Masalah penyebaran guru sekolah dasar (SD), ketidakcocokan latar belakang pendidikan, dan penugasan guru (mismatch) merupakan masalah yang sangat signifikan dalam sistem pengadaan dan pendayagunaan guru (teacher supply system) di negara kita dan merupakan pertanda tidak terpadunya sistem pengadaan dan pendayagunaan tenaga guru itu.
Kemudian secara kualitatif, permasalahan itu berkenaan dengan kurang memadainya kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran yang efektif dan penguasaan bahan ajar serta kurang pedulinya sebagian dari para guru untuk mengembangkan kemampuan akademik dan profesional secara mandiri. Untuk menangani tantangan yang bersifat kualitatif, pemerintah telah melakukan berbagai upaya penting dalam meningkatkan kualitas kemampuan guru dan tenaga kependidikan lainnya, baik guru TK, SD, SMP, maupun SMA. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini telah banyak produk hukum yang mengarahkan peningkatan mutu dan kesejahteraan guru, yaitu sejak diberlakukannya Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 1989; Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; dan Permendiknas No. 28 Tahun 2005 tentang Akreditasi Perguruan Tinggi.
Kapabilitas guru pada semua jenjang pendidikan, terutama guru sekolah dasar (SD), sering mendapatkan sorotan yang mengarah pada ketidakpuasan dan ketidakpercayaan dari sebagian anggota masyarakat. Penyebabnya bisa berasal dari faktor guru itu sendiri maupun dari prestasi belajar yang dicapai oleh siswa. Berdasarkan beberapa hasil kajian, masih terdapat kelemahan dan kendala yang berkaitan langsung dengan mutu guru SD yang jika tidak segera diatasi akan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan di masa yang akan datang.
Permasalahan yang berkaitan dengan kualitas guru menuntut adanya reformasi guru yang ditandai dengan adanya perubahan “mind set” tentang guru sebagai pihak yang berada pada di garis depan pencapaian tujuan pendidikan nasional. Salah satu aspek strategis yang menjadi fokus perubahan dalam reformasi guru yaitu berkaitan dengan peningkatan kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Kualifikasi akademik merupakan salah satu prasyarat utama yang menentukan kelayakan seorang guru dalam melaksanakan tugas kependidikan. Pada kenyataannya masih terdapat sekitar 74% guru SD yang belum memiliki kelayakan kualifikasi akademik (S1) sehingga harus ditingkatkan kualifikasi akademiknya.
Permasalahan lain berkaitan dengan lemahnya penguasaan kompetensi secara utuh yang mengakibatkan kegagalan dalam melaksanakan fungsi dan tugas profesionalnya. Kelemahan tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan bidang kognitif yang berkaitan dengan kemampuan intelektual guru, kemampuan bidang sikap yang berkaitan dengan kesiapan/kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya, serta kemampuan bidang keterampilan yang berkaitan dengan kemampuan guru dalam berbagai keterampilan yang dipersyaratkan.
Dari ketiga kemampuan tersebut, kemampuan bidang kognitif merupakan kemampuan pertama yang harus dimiliki oleh seorang guru. Pemahaman guru terhadap peran dan fungsi serta tugasnya menempati posisi yang sangat penting, karena pemahaman ini sangat berpengaruh terhadap aspek sikap dan keterampilan yang seharusnya dimiliki seorang guru profesional. Apabila pemahaman terhadap bidang kognitif ini kurang baik maka diasumsikan guru tersebut akan memiliki sikap dan keterampilan yang kurang baik pula. Dengan demikian, pendidikan dan pelatihan guru seharusnya memberikan kesempatan kepada calon guru atau guru untuk  terlebih dahulu memahami fungsi, peran, dan bidang tugas yang akan sangat berpengaruh terhadap aspek sikap dan keterampilan guru.
Salah satu bukti guru-guru SD kurang memahami kemampuan bidang kognitif secara menyeluruh dapat dilihat dari hasil penilaian atau uji kompetensi yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2012. Uji kompetensi dilakukan kepada sebanyak 164.539 orang guru SD yang sudah memenuhi kualifikasi akademik S1/D4. Dari 100 butir soal terkait dengan kemampuan bidang kognitif pada kompetensi pedagogik dan profesional yang diujikan, nilai rata-rata yang diperoleh yaitu 36,86 dengan rentangan nilai mulai dari 3,00 (terendah) sampai 80,00 (tertinggi), dan tidak seorangpun guru yang bisa mencapai nilai maksimal (90-100).
Secara umum, kajian literatur ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis dalam rangka mengoptimalkan dan meningkatkan kemampuan profesionalitas guru sekolah dasar di masa yang akan datang.

B.  Upaya Perubahan dalam Sistem Pendidikan Profesi Guru
Profesi sebagai guru memiliki peran yang sangat strategis dalam proses pencerdasan, pembudayaan, dan pembangunan karakter bangsa. Pencanangan guru sebagai jabatan profesi dan menjadi modal dasar dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional secara komprehensif. Dengan tugas-tugas seperti yang tertera dalam UU Nomor 14 Tahun 2005, guru menjadi faktor kunci dan “the front liner” dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan mutu pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Sebagai konsekuensinya, guru harus memiliki kemampuan yang memadai dan terstandar untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan serta mempunyai keinginan dalam mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas.
Mutu dan profesionalitas guru sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek pendidikan dan/atau pelatihan lanjutan yang dialaminya pada saat memangku jabatan sebagai guru (in-service teacher training). Permasalahan yang sering muncul dalam pelaksanaan pendidikan/pelatihan guru dalam jabatan, di antaranya: (a) materi penataran yang diberikan bukan yang dibutuhkan oleh guru; (b) penatar sering tidak lebih bermutu pengetahuannya dan juga tidak lebih lama pengalamannya dari yang ditatar; (c) kegiatan penataran biasanya diselenggarakan pada jam efektif di mana para guru seharusya mengajar; (d) penataran dipandang guru hanya sebagai paksaan untuk memperoleh sertifikat; dan (e) penyelenggaraan pelatihan pada umumnya sangat berorientasi pada proyek. Permasalah-permasalahan tersebut akan berakibat terhadap rendahnya kualitas kinerja guru yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh juga terhadap perolehan hasil belajar siswa yang diajarnya di sekolah.
Kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat cepat menimbulkan perkembangan yang cepat pula dalam berbagai bidang kehidupan. Perkembangan teknologi informasi membawa masyarakat ke arah kehidupan yang lebih terbuka, komunikasi yang akurat dan cepat ke seluruh penjuru tanah air bahkan ke seluruh dunia, serta sarana transportasi yang semakin canggih memperpendek jarak antardaerah dan negara. Semuanya membawa kepada tatanan kehidupan yang bersifat global, menghilangkan batas-batas antarbangsa, negara, dan benua. Dalam kehidupan yang demikian, terdapat tuntutan yang semakin tinggi dan persaingan yang semakin ketat. Masalah mutu, baik mutu produk maupun mutu layanan adalah hal yang tidak dapat ditawar lagi dari mereka yang mampu memberikan sesuatu yang bermutu, mampu bersaing dalam kehidupan global dan berkinerja secara profesional. Profesionalisme menjadi syarat mutlak untuk dapat berkiprah pada era informasi, era globalisasi, baik secara regional, nasional, maupun internasional.
Menurut Suprihatiningrum (2013: 70) guru profesional adalah guru yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru harus mengetahui, memahami, dan menguasai berbagai strategi dan teknik pembelajaran, menguasai landasan-landasan kependidikan, serta menguasai bidang studi yang diajarkan.
Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 2, guru dikatakan sebagai tenaga profesional yang mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Selanjutnya Undang-undang No. 20 Tahun 2003, Pasal 39 Ayat 2 menjelaskan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Menurut Suprihatiningrum (2013: 24) orang yang disebut pendidik atau guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran, serta mampu menata dan mengelola kelas agar siswa dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Guru seharusnya melalui pendidikan mampu membantu anak didik untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.
Di mata siswa, guru adalah seorang yang mempunyai otoritas bukan saja dalam bidang akademis, melainkan juga dalam bidang non akademis. Bahkan dalam masyarakat, guru dipandang sebagai orang yang harus di gugu dan di tiru. Pengaruh guru terhadap siswanya sangat besar. Faktor-faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati misalnya memegang peranan penting dalam interaksi sosial. Oleh sebab itulah, berdirinya PGSD sebagai wadah untuk membentuk dan mewujudkan guru yang profesional bisa dikatakan sebagai upaya untuk dapat membawa perubahan dalam sistem pendidikan di sekolah dan melahirkan SDM yang handal serta tercapainya tujuan yang diharapkan agar tercapainya tipologi guru yang memiliki karakteristik tertentu, yang pada masa sekarang disebut dengan guru berkompetensi. Guru yang berkompetensi menggambarkan bahwa guru harus memiliki dan menampilkan sosok kualitas personal (kepribadian), pedagogik, profesional, serta sosial dalam menjalankan tugasnya.
Profesionalitas guru SD melalui PGSD sangat tepat momentumnya bagi perkembangan pendidikan di sekolah karena didasarkan pada realitas di lapangan bahwa masalah kompetensi dan profesionalitas mereka dalam menjalankan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah menghadapi permasalahan dan kritik dari berbagai pihak. Di antara kritik yang patut di cermati adalah bahwa pendidikan di sekolah lebih berkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis yang bersifat kognitif semata, kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan tersebut menjadi makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan ke dalam jiwa siswa. Tamatan PGSD diharapkan akan mampu menjawab semua kritikan seperti ini dengan melahirkan pendidikan-pendidikan alternatif. Tentu saja dengan cara pandang teori-teori ke SD-an, selama mereka mengikuti program pendidikan ini seorang guru SD akan dipandang cakap dan memiliki kompetensi mampu mengajar anak-anak secara efektif dan holistik.

C.  Peningkatan Profesionalisme Guru SD
Arus dinamika masyarakat terus mengalir dan bergerak menuju ke samudera modernisme kehidupan masyarakat yang di dalamnya mengandung unsur harapan, di samping kecemasan dan keresahan sosial. Perkembangan global yang terjadi saat ini bisa jadi akan menuju arah yang positif dan bisa pula ke arah yang negatif, tergantung siapa yang paling banyak menginstal konsep-konsep, pemikiran-pemikiran, budaya dan nilai ke dalamnya. Dalam kondisi yang demikianlah kita berbicara mengenai kiprah pendidikan dalam pemberdayaan manusia Indonesia di kancah globalisasi.
Berbicara tentang kaitan antara pendidikan dan globalisasi, tentu saja kita juga harus membicarakan mengenai “sosok guru ideal” yang di harapkan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, profil sosok guru ideal bagaimana sebenarnya yang diharapkan oleh sistem pendidikan dalam menghadapi globalisasi tersebut? Tentu saja, profil guru yang diharapkan dunia pendidikan adalah tidak sesederhana seperti gambaran dan impian orang-orang tua kita dahulu, yaitu seseorang yang biasanya bergaya dan berpakaian seperti layaknya guru dan mengajar di kelas, sementara ia tidak tahu apa-apa tentang perkembangan dunia luar. Profil guru seperti ini tidak lah salah namun sudah saatnya untuk “dirubah” dengan “sosok” yang selain memiliki keahlian dalam mengajar, juga harus memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan anak-anak mereka dalam menghadapi dan mengantisipasi perkembangan zaman.
Seseorang yang dikatakan profesional, menurut Muhaimin dalam Syamsul Ma’arif (2009: 105), “Bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntunan zamannya, yang dilandasi oleh kesadaran tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya di masa depan”.
Sosok guru ideal yang diharapkan pendidikan sekarang adalah seorang ilmuwan dengan ciri-ciri sebagai berikut; (1) Peka terhadap masalah, Karena kepekaan seperti ini merupakan penggerak kreatifitas. Bagi ilmuwan yang lebih penting adalah memikirkan pertanyaan untuk suatu jawaban daripada menjawab pertanyaan yang sudah ada. (2) Bekerja tanpa pamrih, Dalam dunia ilmu sikap tanpa pamrih biasanya diberi makna obyektif, cinta kebenaran dan kritis. Tetapi bukan obyektif yang dingin, cinta kebenaran yang impersonal atau sekedar membuka diri untuk selalu kritis dan bersedia menerima kritik. Melainkan, sifat tanpa pamrih mendorong ilmuwan untuk tidak semata mengindahkan kepentingan sendiri, sebaliknya harus membuka diri untuk setiap kebenaran termasuk yang tidak berasal dari dirinya, bahkan bersedia mempertaruhkan diri walaupun dengan itu seolah hakekat kemanusiaannya menjadi semu belaka. (3) Bersikap bijaksana, kebijakan mengandung makna adanya hubungan timbal balik antara pengenalan dan tindakan, antara pengertian praktis etis yang sesuai. (4) Tanggung jawab, seorang ilmuwan berkewajiban mencari, menemukan dan memanfaatkan ilmu bagi keperluan hidup umat manusia, sekaligus juga harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi selanjutnya jika dengan ilmu itu ternyata menimbulkan kerusakan lingkungan di alam ini, lalu berusahalah ia untuk mencari lagi jalan keluarnya. Dengan begitu, jelaslah bahwa sosok guru dengan karakter “Cerdas, Kreatif, dan Beradab” adalah sosok yang sangat dibutuhkan pendidikan dasar di Indonesia untuk menghadapi zaman globalisasi, yaitu sosok yang diharapkan dengan memiliki berbagai macam kecerdasan di dalam dirinya, baik itu kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spritual.
Kenapa “sosok” guru dengan berbagai macam kecerdasan tersebut sangat dibutuhkan di era globalisasi? Karena, dalam konteks globalisasi ini berbagai perubahan dalam kehidupan yang menjadi ciri utamanya adalah keterampilan mentransfer pengetahuan tertentu yang sangat spesifik konteksnya sehingga diperlukan transferable knowledge. Transferable knowledge ini harus memiliki komponen-komponen yang jelas dan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata, yang berarti pengetahuan yang diajarkan kepada siswa tidak hanya bersifat teoritik tetapi juga praktik, sehingga potensi yang harus dikembangkan adalah kreativitas dan peningkatan kecerdasan siswa secara stimulan dalam dimensi moral.
Selain itu, dalam memasuki era globalisasi yang ditandai dengan berbagai kemajuan pada aspek-aspek tertentu dalam kehidupan umat manusia dan biasanya terjadi pergaulan global yang dicirikan sebagai berikut: Pertama, terjadi pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan perdagangan, investasi, dan informasi. Kedua, hubungan antarnegara/bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan kearah saling ketergantungan. Ketiga, batas-batas geografi hampir kehilangan arti operasionalnya. Kekuatan suatu negara dan komunitas dalam interaksinya dengan negara ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keempat, persaingan antarnegara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai, dan norma yang secara ekonomi dianggap tidak efisien.
Menghadapi fenomena globalisasi semacam itu, sekarang ini telah memunculkan “trend pendidikan” yang lebih berorientasi pada pengembangan potensi manusia, bukan memusatkan pada kemampuan teknikal dalam melakukan eksplorasi dan ekspoitasi alam. Pergeseran ini didorong tidak hanya oleh kenyataan terjadinya krisis ekologi tetapi juga oleh hasil riset terutama dalam bidang neuropsikologi yang menunjukkan bahwa potensi manusia masih sangat sedikit. Dengan begitu, masa depan peradaban manusia masih sulit diramalkan karena akan terjadi berbagai inovasi yang mengejutkan, baik dalam aspeknya yang positif maupun negatif.
Tentu saja, dalam menghadapi kasus seperti itu pendidikan nasional harus segera mewujudkan apa yang telah menjadi fungsi dan tujuannya dalam Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 3, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembanganya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk merealisaikan fungsi dan tujuan pendidikan nasional mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diharapkan. Pendidikan nasional melalui PGSD harus menumbuhkan prakarsa dan memekarkan potensi kreatif pada peserta didiknya dengan berbagai macam kecerdasan.
Pendidikan nasional harus segera memperhatikan berbagai macam kecerdasan yang harus dikembangkan, karena dalam menghadapi globalisasi unsur yang paling penting adalah bagaimana kita bisa mengoptimalkan potensi “mind” dan “brain” pada diri siswa untuk meraih prestasi peradaban secara cepat dan efektif. Maka masing-masing kecerdasan dalam diri siswa harus ditumbuhkembangkan secara proporsional dan seimbang. Ini berarti pendidikan yang “demokratis” harus memberlakukan beragam metode yang menggali kemampuan siswa untuk berperan secara aktif, dengan mengakui perbedaan kemampuan intelektual, kecepatan belajar, sifat, sikap, dan minatnya.
Kebijaksanaan pendidikan yang harus diutamakan adalah membantu setiap mahasiswa (sebagai calon guru SD nantinya) dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan: (1) menyediakan guru profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga, dan ruang guru ruang bermain yang memadai; (3) menyediakan media pembelajaran yang inovatif, sehingga memungkinkan peserta didik dapat secara terus menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar; dan (4) evaluasi yang terus menerus, komprehensif, dan obyektif.
Menjadikan pendidikan SD sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos kerja, disiplin, jujur, cerdas, dan bermoral. Sehingga, peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya dalam belajar yang akan mampu memekarkan seluruh potensi yang dimiliki setiap peserta didik secara integralistik dengan memperhatikan seluruh tahapan perkembangan psikologis mereka.

D.  Prinsip-prinsip Profesionalisme Guru dalam Mengajar
Selama proses mengajar, profesionalitas guru dijalankan dengan prinsip-prinsip tertentu. Guru perlu mengetahui dan dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara profesional (Hamzah B. Uno, 2010: 16), yaitu sebagai berikut: (1) Guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat menggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi; (2) Guru harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berpikir serta mencari dan menemukan pengetahuan sendiri; (3) Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pelajaran dan penyesuaiannya dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik; (4) Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik, agar peserta didik menjadi mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya; (5) Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas; (6) Guru wajib memperhatikan korelasi antara mata pelajaran dengan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari; (7) Guru harus tetap menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya; (8) Guru harus mengembangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan sosial, baik dalam kelas maupun di luar kelas; dan (9) Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta didik secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaannya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa profesi guru memiliki peranan yang sangat strategis dalam menginovasi pelaksanaan pembelajaran, karena guru merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Profesi merupakan janji terbuka yang diucapkan dengan sungguh-sungguh di hadapan orang lain, Tuhan, diri sendiri karena idealisme seseorang untuk mengabdi seumur hidup demi mencapai kemaslahatan manusia. Kemudian, jabatan guru telah mendapatkan pengakuan secara yuridis melalui UU No. 20 tahun 2003, UU No 14 Tahun 2005, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, profesi guru harus mendapatkan tempat yang istimewa dibandingkan dengan pekerjaan lainnya yang bukan pekerjaan profesi.
Menurut Danim (2002: 23), profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Aksestasinya dapat dilakukan melalui penelitian, diskusi antar rekan seprofesi, penelitian dan pengembangan, membaca karya akademik kekinian, dan sebagainya. Kegiatan belajar mandiri, mengikuti pelatihan, studi banding, observasi praktikal, dan lain-lain menjadi bagian integral upaya profesionalisasi itu.
Guru profesional yang dituntut untuk memiliki kompetensi yang terukur dan teruji melalui prosedur tertentu. Dalam UU No. 14 Tahun 2005 dinyatakan bahwa sebagai pendidik profesional, guru mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini pada pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Untuk melihat apakah seorang guru dikatakan profesional atau tidak, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dilihat dari tingkat pendidikan minimal dari latar belakang pendidikan untuk jenjang sekolah tempat seseorang menjadi guru. Kedua, penguasaan guru terhadap materi bahan ajar, mengelola proses pembelajaran, mengelola siswa, melakukan tugas-tugas bimbingan, dan lain-lain. Dilihat dari perspektif latar pendidikan, kemampuan profesional guru SD di Indonesia masih sangat beragam, mulai dari yang tidak berkompeten sampai yang berkompeten.
Menurut Mulyasa (2013: 10) rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1.    Adanya pandangan sebagian masyarakat  bahwa siapa pun dapat menjadi guru, asalkan ia memiliki pengetahuan.
2.    Kekurangan guru di daerah tertentu memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai kewenangan profesional untuk menjadi guru.
3.    Banyaknya guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesi tersebut. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya dan lain-lain yang dapat memudarkan wibawa guru dengan sendirinya menghambat mutu pendidikan.
Secara De Jure, profesi guru merupakan pekerjaan profesional karena sudah diatur dalam undang-undang dan seperangkat peraturan lainnya, serta sudah disiapkan seoptimal mungkin walaupun hasilnya belum optimal. Jika jabatan dan pekerjaan guru merupakan pekerjaan profesional, maka hal tersebut akan membawa konsekuensi logis terhadap tanggung jawab untuk mengembangkan dan mempertahankan profesi tersebut. Tanggung jawab dalam mengembangkan profesi pada dasarnya merupakan tuntutan dan panggilan untuk selalu mencintai, menghargai, menjaga, dan meningkatkan tugas dan tanggung jawab profesinya. Guru harus sadar bahwa tugas dan tanggung jawabnya tidak bisa dilakukan oleh orang lain, kecuali oleh dirinya. Guru merupakan panggilan moral yang harus diemban secara bertanggung jawab dan profesional.
Meskipun demikian, secara De Facto, pekerjaan guru belum menunjukkan pekerjaan profesional karena dalam praktiknya masih banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik profesinya, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam monitoring dan evaluasi pekerjaan guru tersebut, termasuk sertifikasi guru yang sedang dilakukan sekarang ini. Dalam praktiknya, tidak semua guru mencintai, menghargai, menjaga, dan meningkatkan tugas serta tanggung jawab profesinya. Bahkan masih banyak guru yang tidak berlatar belakang pendidikan. Kondisi ini tidak hanya terjadi di daerah namun juga terjadi di perkotaan. Selain itu tidak sedikit guru yang menjadikan profesinya sebagai batu loncatan atau hanya menjadikan pekerjaan tersebut sebagai jalan untuk menjadi pegawai negeri sipil sehingga tidak menjadi panggilan moral yang diemban secara bertanggung jawab dan profesional.
Maka dari itu, sebagai guru profesional yang ikut membentuk kepribadian manusia dalam proses pertumbuhannya yang sangat penting itu, merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan 9 (sembilan) prinsip sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme; (2) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; (3) memiliki kualifikasi akademis dan latar belakang sesuai dengan bidang tugasnya; (4) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya; (5) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan tugas secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (8) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya; dan (9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Sebagai seorang pemegang jabatan profesi, guru dituntut untuk menguasai berbagai pengetahuan yang terkait dengan bidang tugasnya, baik yang mencakup penguasaan terhadap konten mata pelajaran yang harus diajarkan (what to teach) maupun pengetahuan tentang bagaimana cara menyampaikan konten mata pelajaran tersebut sehingga dapat dicerna dan dipahami oleh peserta didik (how to teach). Kemampuan menguasai berbagai pengetahuan tersebut disebut kemampuan intelektual atau kemampuan bidang kognitif. Guru harus memiliki kemampuan bidang kognitif, artinya guru tersebut harus memiliki kemampuan intelektual, seperti penguasaan konten mata pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, dan pengetahuan cara menilai siswa.
Terdapat lima ciri pokok dari suatu jabatan profesional, yaitu adanya pengakuan dari masyarakat, menuntut keterampilan dan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan intensif dari lembaga yang kredibel, didukung oleh a systematic body of knowledge, adanya kode etik dan sanksi yang jelas/tegas oleh organisasi profesi, serta memperoleh imbalan finansial yang memadai. Melihat kelima ciri tersebut, pekerjaan atau jabatan sebagai guru merupakan pekerjaan atau jabatan yang berada pada taraf profesi yang sedang tumbuh (emerging/growing proffesions) dan belum mencapai suatu profesi dalam arti yang sesungguhnya (Supriadi, 1999). Namun demikian, profesi sebagai guru benar-benar merupakan pekerjaan yang tidak boleh dijabat oleh sembarang orang (Sudjana, 1988). Penyandang profesi sebagai guru bukan hanya sekadar memiliki ilmu pengetahuan yang kuat, tuntas, dan tidak setengah-tengah, tetapi juga harus memiliki kepribadian yang matang, kuat, dan seimbang termasuk sifat-sifat fisiknya yang memungkinkan dapat membimbing peserta didik yang sedang dalam tahap perkembangan. Dalam ungkapan lain “professionalism is predominantly an attitude, not a set of competencies”.
Hingga saat ini, pengkajian mengenai profesionalisme guru terus-menerus dilakukan. Hal tersebut didorong oleh kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru yang diyakini merupakan indikator utama dalam peningkatan kualitas pendidikan dan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pada era globalisasi saat ini, profesionalisme guru memiliki makna yang sangat strategis karena guru mengemban tugas sejati bagi proses kemanusiaan, pemanusiaan, pencerdasan, pembudayaan, dan pembangun karakter bangsa. Esensi dan eksistensi makna strategis dari profesi guru telah diakui dalam realitas sejarah pendidikan di Indonesia dengan pengakuan formal dari pemerintah, di mana pada tanggal 2 desember 2004 Presiden Republik Indonesia mencanangkan jabatan guru sebagai jabatan profesional. Dalam hal ini, seorang guru harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran dengan kepemilikan empat kompetensi utama, yaitu: (a) kompetensi pedagogik; (b) kompetensi kepribadian; (c) kompetensi profesional; dan (d) kompetensi sosial.

Simpulan
Pendidikan yang bermutu akan didukung oleh guru-guru yang memegang prinsip-prinsip profesionalisme guru. Sosok guru dengan karakter “Cerdas, Kreatif, dan Beradab” adalah sosok yang sangat dibutuhkan pendidikan dasar di Indonesia untuk menghadapi zaman globalisasi yang mulai dilaksanakan pada akhir tahun 2015 ini. Sosok guru ideal sangat diperlukan untuk menyiapkan dan menghadapi era globalisasi, yaitu sosok guru yang diharapkan dengan memiliki berbagai macam kecerdasan di dalam dirinya, baik itu kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spritual.

Daftar Pustaka
Danim, Sudarwan. (2002). Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Ma’arif, Syamsul. (2009). Selamatkan Pendidikan Dasar Kita. Semarang: Need’s Press.
Mulyasa. (2013). Uji Kompetensi dan Penilaian Kinerja Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007.
Sudjana, N. (1988). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Supriadi, D. (1999). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Suprihatiningrum, Jamil. (2013). Guru Profesional: Pedoman Kinerja, Kualifikasi, & Kompetensi Guru. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Undang - Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang - Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Uno, Hamzah. (2010). Profesi Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar