A. Latar
Belakang dan Permasalahan
Era
globalisasi menuntut kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki
keunggulan kompetitif dan komparatif. Upaya menyiapkan sumber daya manusia yang
unggul salah satunya dapat dicapai melalui pendidikan. Kualitas SDM sangat erat
kaitannya dengan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan adalah keadaan baik
dan kurang baiknya kondisi, layanan, dan hasil pendidikan berdasarkan kriteria
ideal dan harapan masyarakat. Pendidikan dikatakan berkualitas jika sesuai
dengan indikator utama seperti kondisi, layanan, dan hasil pendidikan yang
sesuai atau melebihi harapan pihak yang berkepentingan (stakeholder). Salah satu aspek penting yang sangat berpengaruh
terhadap peningkatan kualitas pendidikan yaitu ketersediaan guru yang
berkualitas dan sesuai dengan standar pendidik dan tenaga kependidikan yang
telah ditetapkan. Standar yang dimaksud berkaitan dengan kualifikasi akademik
dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Guru harus
memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
Perkembangan
yang pesat dalam bidang pendidikan selama empat dekade terakhir ini telah
membawa berbagai masalah berkenaan dengan pengadaan dan pendayagunaan guru di
Indonesia. Secara kuantitatif, masalah itu mencakup perhitungan kebutuhan,
pengadaan, dan penyebaran guru. Masalah penyebaran guru sekolah dasar (SD),
ketidakcocokan latar belakang pendidikan, dan penugasan guru (mismatch) merupakan masalah yang sangat
signifikan dalam sistem pengadaan dan pendayagunaan guru (teacher supply system) di negara kita dan merupakan pertanda tidak
terpadunya sistem pengadaan dan pendayagunaan tenaga guru itu.
Kemudian
secara kualitatif, permasalahan itu berkenaan dengan kurang memadainya
kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran yang efektif dan penguasaan
bahan ajar serta kurang pedulinya sebagian dari para guru untuk mengembangkan
kemampuan akademik dan profesional secara mandiri. Untuk menangani tantangan
yang bersifat kualitatif, pemerintah telah melakukan berbagai upaya penting
dalam meningkatkan kualitas kemampuan guru dan tenaga kependidikan lainnya,
baik guru TK, SD, SMP, maupun SMA. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini
telah banyak produk hukum yang mengarahkan peningkatan mutu dan kesejahteraan
guru, yaitu sejak diberlakukannya Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional sebagai pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 1989; Undang-undang
No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; dan Permendiknas No. 28 Tahun 2005
tentang Akreditasi Perguruan Tinggi.
Kapabilitas
guru pada semua jenjang pendidikan, terutama guru sekolah dasar (SD), sering
mendapatkan sorotan yang mengarah pada ketidakpuasan dan ketidakpercayaan dari
sebagian anggota masyarakat. Penyebabnya bisa berasal dari faktor guru itu
sendiri maupun dari prestasi belajar yang dicapai oleh siswa. Berdasarkan
beberapa hasil kajian, masih terdapat kelemahan dan kendala yang berkaitan
langsung dengan mutu guru SD yang jika tidak segera diatasi akan berdampak pada
rendahnya kualitas pendidikan di masa yang akan datang.
Permasalahan
yang berkaitan dengan kualitas guru menuntut adanya reformasi guru yang ditandai
dengan adanya perubahan “mind set”
tentang guru sebagai pihak yang berada pada di garis depan pencapaian tujuan
pendidikan nasional. Salah satu aspek strategis yang menjadi fokus perubahan
dalam reformasi guru yaitu berkaitan dengan peningkatan kualifikasi akademik
dan kompetensi guru. Kualifikasi akademik merupakan salah satu prasyarat utama
yang menentukan kelayakan seorang guru dalam melaksanakan tugas kependidikan.
Pada kenyataannya masih terdapat sekitar 74% guru SD yang belum memiliki
kelayakan kualifikasi akademik (S1) sehingga harus ditingkatkan kualifikasi
akademiknya.
Permasalahan
lain berkaitan dengan lemahnya penguasaan kompetensi secara utuh yang
mengakibatkan kegagalan dalam melaksanakan fungsi dan tugas profesionalnya.
Kelemahan tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan bidang kognitif yang
berkaitan dengan kemampuan intelektual guru, kemampuan bidang sikap yang
berkaitan dengan kesiapan/kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan
dengan tugas dan profesinya, serta kemampuan bidang keterampilan yang berkaitan
dengan kemampuan guru dalam berbagai keterampilan yang dipersyaratkan.
Dari
ketiga kemampuan tersebut, kemampuan bidang kognitif merupakan kemampuan
pertama yang harus dimiliki oleh seorang guru. Pemahaman guru terhadap peran dan
fungsi serta tugasnya menempati posisi yang sangat penting, karena pemahaman
ini sangat berpengaruh terhadap aspek sikap dan keterampilan yang seharusnya
dimiliki seorang guru profesional. Apabila pemahaman terhadap bidang kognitif
ini kurang baik maka diasumsikan guru tersebut akan memiliki sikap dan
keterampilan yang kurang baik pula. Dengan demikian, pendidikan dan pelatihan
guru seharusnya memberikan kesempatan kepada calon guru atau guru untuk terlebih dahulu memahami fungsi, peran, dan
bidang tugas yang akan sangat berpengaruh terhadap aspek sikap dan keterampilan
guru.
Salah
satu bukti guru-guru SD kurang memahami kemampuan bidang kognitif secara
menyeluruh dapat dilihat dari hasil penilaian atau uji kompetensi yang
dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2012. Uji kompetensi
dilakukan kepada sebanyak 164.539 orang guru SD yang sudah memenuhi kualifikasi
akademik S1/D4. Dari 100 butir soal terkait dengan kemampuan bidang kognitif
pada kompetensi pedagogik dan profesional yang diujikan, nilai rata-rata yang
diperoleh yaitu 36,86 dengan rentangan nilai mulai dari 3,00 (terendah) sampai
80,00 (tertinggi), dan tidak seorangpun guru yang bisa mencapai nilai maksimal
(90-100).
Secara
umum, kajian literatur ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara
teoretis maupun secara praktis dalam rangka mengoptimalkan dan meningkatkan
kemampuan profesionalitas guru sekolah dasar di masa yang akan datang.
B. Upaya
Perubahan dalam Sistem Pendidikan Profesi Guru
Profesi
sebagai guru memiliki peran yang sangat strategis dalam proses pencerdasan,
pembudayaan, dan pembangunan karakter bangsa. Pencanangan guru sebagai jabatan
profesi dan menjadi modal dasar dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional
secara komprehensif. Dengan tugas-tugas seperti yang tertera dalam UU Nomor 14
Tahun 2005, guru menjadi faktor kunci dan “the
front liner” dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
peningkatan mutu pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Sebagai
konsekuensinya, guru harus memiliki kemampuan yang memadai dan terstandar untuk
memecahkan masalah-masalah pendidikan serta mempunyai keinginan dalam
mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas.
Mutu
dan profesionalitas guru sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek pendidikan
dan/atau pelatihan lanjutan yang dialaminya pada saat memangku jabatan sebagai
guru (in-service teacher training).
Permasalahan yang sering muncul dalam pelaksanaan pendidikan/pelatihan guru
dalam jabatan, di antaranya: (a) materi penataran yang diberikan bukan yang
dibutuhkan oleh guru; (b) penatar sering tidak lebih bermutu pengetahuannya dan
juga tidak lebih lama pengalamannya dari yang ditatar; (c) kegiatan penataran
biasanya diselenggarakan pada jam efektif di mana para guru seharusya mengajar;
(d) penataran dipandang guru hanya sebagai paksaan untuk memperoleh sertifikat;
dan (e) penyelenggaraan pelatihan pada umumnya sangat berorientasi pada proyek.
Permasalah-permasalahan tersebut akan berakibat terhadap rendahnya kualitas
kinerja guru yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh juga terhadap perolehan
hasil belajar siswa yang diajarnya di sekolah.
Kemajuan
ilmu dan teknologi yang sangat cepat menimbulkan perkembangan yang cepat pula
dalam berbagai bidang kehidupan. Perkembangan teknologi informasi membawa
masyarakat ke arah kehidupan yang lebih terbuka, komunikasi yang akurat dan
cepat ke seluruh penjuru tanah air bahkan ke seluruh dunia, serta sarana
transportasi yang semakin canggih memperpendek jarak antardaerah dan negara.
Semuanya membawa kepada tatanan kehidupan yang bersifat global, menghilangkan
batas-batas antarbangsa, negara, dan benua. Dalam kehidupan yang demikian,
terdapat tuntutan yang semakin tinggi dan persaingan yang semakin ketat.
Masalah mutu, baik mutu produk maupun mutu layanan adalah hal yang tidak dapat
ditawar lagi dari mereka yang mampu memberikan sesuatu yang bermutu, mampu
bersaing dalam kehidupan global dan berkinerja secara profesional.
Profesionalisme menjadi syarat mutlak untuk dapat berkiprah pada era informasi,
era globalisasi, baik secara regional, nasional, maupun internasional.
Menurut
Suprihatiningrum (2013: 70) guru profesional adalah guru yang terdidik dan
terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Hal ini
menunjukkan bahwa seorang guru harus mengetahui, memahami, dan menguasai
berbagai strategi dan teknik pembelajaran, menguasai landasan-landasan
kependidikan, serta menguasai bidang studi yang diajarkan.
Dalam
Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 2, guru dikatakan
sebagai tenaga profesional yang mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya
dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi,
dan sertifikasi pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan
jenjang pendidikan tertentu. Selanjutnya Undang-undang No. 20 Tahun 2003, Pasal
39 Ayat 2 menjelaskan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Menurut
Suprihatiningrum (2013: 24) orang yang disebut pendidik atau guru adalah orang
yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran, serta mampu menata dan
mengelola kelas agar siswa dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai
tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Guru seharusnya
melalui pendidikan mampu membantu anak didik untuk mengembangkan daya berpikir
atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif
dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya
sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.
Di
mata siswa, guru adalah seorang yang mempunyai otoritas bukan saja dalam bidang
akademis, melainkan juga dalam bidang non akademis. Bahkan dalam masyarakat,
guru dipandang sebagai orang yang harus di gugu dan di tiru. Pengaruh guru
terhadap siswanya sangat besar. Faktor-faktor imitasi, sugesti, identifikasi,
dan simpati misalnya memegang peranan penting dalam interaksi sosial. Oleh
sebab itulah, berdirinya PGSD sebagai wadah untuk membentuk dan mewujudkan guru
yang profesional bisa dikatakan sebagai upaya untuk dapat membawa perubahan dalam
sistem pendidikan di sekolah dan melahirkan SDM yang handal serta tercapainya
tujuan yang diharapkan agar tercapainya tipologi guru yang memiliki
karakteristik tertentu, yang pada masa sekarang disebut dengan guru
berkompetensi. Guru yang berkompetensi menggambarkan bahwa guru harus memiliki
dan menampilkan sosok kualitas personal (kepribadian), pedagogik, profesional,
serta sosial dalam menjalankan tugasnya.
Profesionalitas
guru SD melalui PGSD sangat tepat momentumnya bagi perkembangan pendidikan di
sekolah karena didasarkan pada realitas di lapangan bahwa masalah kompetensi
dan profesionalitas mereka dalam menjalankan proses pendidikan dan pengajaran
di sekolah menghadapi permasalahan dan kritik dari berbagai pihak. Di antara
kritik yang patut di cermati adalah bahwa pendidikan di sekolah lebih
berkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis yang bersifat kognitif semata,
kurang concern terhadap persoalan
bagaimana mengubah pengetahuan tersebut menjadi makna dan nilai yang perlu
diinternalisasikan ke dalam jiwa siswa. Tamatan PGSD diharapkan akan mampu
menjawab semua kritikan seperti ini dengan melahirkan pendidikan-pendidikan
alternatif. Tentu saja dengan cara pandang teori-teori ke SD-an, selama mereka
mengikuti program pendidikan ini seorang guru SD akan dipandang cakap dan
memiliki kompetensi mampu mengajar anak-anak secara efektif dan holistik.
C. Peningkatan
Profesionalisme Guru SD
Arus
dinamika masyarakat terus mengalir dan bergerak menuju ke samudera modernisme
kehidupan masyarakat yang di dalamnya mengandung unsur harapan, di samping
kecemasan dan keresahan sosial. Perkembangan global yang terjadi saat ini bisa
jadi akan menuju arah yang positif dan bisa pula ke arah yang negatif,
tergantung siapa yang paling banyak menginstal konsep-konsep,
pemikiran-pemikiran, budaya dan nilai ke dalamnya. Dalam kondisi yang
demikianlah kita berbicara mengenai kiprah pendidikan dalam pemberdayaan
manusia Indonesia di kancah globalisasi.
Berbicara
tentang kaitan antara pendidikan dan globalisasi, tentu saja kita juga harus
membicarakan mengenai “sosok guru ideal” yang di harapkan. Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah, profil sosok guru ideal bagaimana sebenarnya yang
diharapkan oleh sistem pendidikan dalam menghadapi globalisasi tersebut? Tentu
saja, profil guru yang diharapkan dunia pendidikan adalah tidak sesederhana seperti
gambaran dan impian orang-orang tua kita dahulu, yaitu seseorang yang biasanya
bergaya dan berpakaian seperti layaknya guru dan mengajar di kelas, sementara
ia tidak tahu apa-apa tentang perkembangan dunia luar. Profil guru seperti ini
tidak lah salah namun sudah saatnya untuk “dirubah” dengan “sosok” yang selain
memiliki keahlian dalam mengajar, juga harus memiliki kemampuan-kemampuan yang
diperlukan anak-anak mereka dalam menghadapi dan mengantisipasi perkembangan
zaman.
Seseorang
yang dikatakan profesional, menurut Muhaimin dalam Syamsul Ma’arif (2009: 105),
“Bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya,
sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu
berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai
dengan tuntunan zamannya, yang dilandasi oleh kesadaran tinggi bahwa tugas
mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya
di masa depan”.
Sosok
guru ideal yang diharapkan pendidikan sekarang adalah seorang ilmuwan dengan
ciri-ciri sebagai berikut; (1) Peka terhadap masalah, Karena kepekaan
seperti ini merupakan penggerak kreatifitas. Bagi ilmuwan yang lebih penting
adalah memikirkan pertanyaan untuk suatu jawaban daripada menjawab pertanyaan
yang sudah ada. (2) Bekerja tanpa pamrih, Dalam dunia ilmu sikap tanpa
pamrih biasanya diberi makna obyektif, cinta kebenaran dan kritis. Tetapi bukan
obyektif yang dingin, cinta kebenaran yang impersonal atau sekedar membuka diri
untuk selalu kritis dan bersedia menerima kritik. Melainkan, sifat tanpa pamrih
mendorong ilmuwan untuk tidak semata mengindahkan kepentingan sendiri,
sebaliknya harus membuka diri untuk setiap kebenaran termasuk yang tidak
berasal dari dirinya, bahkan bersedia mempertaruhkan diri walaupun dengan itu
seolah hakekat kemanusiaannya menjadi semu belaka. (3) Bersikap bijaksana, kebijakan
mengandung makna adanya hubungan timbal balik antara pengenalan dan tindakan,
antara pengertian praktis etis yang sesuai. (4) Tanggung jawab, seorang
ilmuwan berkewajiban mencari, menemukan dan memanfaatkan ilmu bagi keperluan
hidup umat manusia, sekaligus juga harus bertanggung jawab atas apa yang
terjadi selanjutnya jika dengan ilmu itu ternyata menimbulkan kerusakan
lingkungan di alam ini, lalu berusahalah ia untuk mencari lagi jalan keluarnya.
Dengan begitu, jelaslah bahwa sosok guru dengan karakter “Cerdas, Kreatif, dan
Beradab” adalah sosok yang sangat dibutuhkan pendidikan dasar di Indonesia
untuk menghadapi zaman globalisasi, yaitu sosok yang diharapkan dengan memiliki
berbagai macam kecerdasan di dalam dirinya, baik itu kecerdasan fisik,
kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan kecerdasan
spritual.
Kenapa
“sosok” guru dengan berbagai macam kecerdasan tersebut sangat dibutuhkan di era
globalisasi? Karena, dalam konteks globalisasi ini berbagai perubahan dalam
kehidupan yang menjadi ciri utamanya adalah keterampilan mentransfer
pengetahuan tertentu yang sangat spesifik konteksnya sehingga diperlukan transferable knowledge. Transferable knowledge ini harus memiliki
komponen-komponen yang jelas dan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata, yang
berarti pengetahuan yang diajarkan kepada siswa tidak hanya bersifat teoritik
tetapi juga praktik, sehingga potensi yang harus dikembangkan adalah
kreativitas dan peningkatan kecerdasan siswa secara stimulan dalam dimensi
moral.
Selain
itu, dalam memasuki era globalisasi yang ditandai dengan berbagai kemajuan pada
aspek-aspek tertentu dalam kehidupan umat manusia dan biasanya terjadi
pergaulan global yang dicirikan sebagai berikut: Pertama, terjadi pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke
arah persaingan perdagangan, investasi, dan informasi. Kedua, hubungan antarnegara/bangsa secara struktural berubah dari
sifat ketergantungan kearah saling ketergantungan. Ketiga, batas-batas geografi hampir kehilangan arti operasionalnya.
Kekuatan suatu negara dan komunitas dalam interaksinya dengan negara ditentukan
oleh kemampuannya memanfaatkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
Keempat, persaingan antarnegara
sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik,
efisien, tidak menghargai nilai, dan norma yang secara ekonomi dianggap tidak
efisien.
Menghadapi
fenomena globalisasi semacam itu, sekarang ini telah memunculkan “trend
pendidikan” yang lebih berorientasi pada pengembangan potensi manusia, bukan
memusatkan pada kemampuan teknikal dalam melakukan eksplorasi dan ekspoitasi
alam. Pergeseran ini didorong tidak hanya oleh kenyataan terjadinya krisis
ekologi tetapi juga oleh hasil riset terutama dalam bidang neuropsikologi yang
menunjukkan bahwa potensi manusia masih sangat sedikit. Dengan begitu, masa
depan peradaban manusia masih sulit diramalkan karena akan terjadi berbagai
inovasi yang mengejutkan, baik dalam aspeknya yang positif maupun negatif.
Tentu
saja, dalam menghadapi kasus seperti itu pendidikan nasional harus segera
mewujudkan apa yang telah menjadi fungsi dan tujuannya dalam Undang-Undang
Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 3, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembanganya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk
merealisaikan fungsi dan tujuan pendidikan nasional mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diharapkan. Pendidikan nasional melalui PGSD harus
menumbuhkan prakarsa dan memekarkan potensi kreatif pada peserta didiknya dengan
berbagai macam kecerdasan.
Pendidikan
nasional harus segera memperhatikan berbagai macam kecerdasan yang harus
dikembangkan, karena dalam menghadapi globalisasi unsur yang paling penting
adalah bagaimana kita bisa mengoptimalkan potensi “mind” dan “brain” pada
diri siswa untuk meraih prestasi peradaban secara cepat dan efektif. Maka
masing-masing kecerdasan dalam diri siswa harus ditumbuhkembangkan secara
proporsional dan seimbang. Ini berarti pendidikan yang “demokratis” harus
memberlakukan beragam metode yang menggali kemampuan siswa untuk berperan
secara aktif, dengan mengakui perbedaan kemampuan intelektual, kecepatan
belajar, sifat, sikap, dan minatnya.
Kebijaksanaan
pendidikan yang harus diutamakan adalah membantu setiap mahasiswa (sebagai
calon guru SD nantinya) dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan: (1)
menyediakan guru profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi
pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik
dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga, dan ruang
guru ruang bermain yang memadai; (3) menyediakan media pembelajaran yang
inovatif, sehingga memungkinkan peserta didik dapat secara terus menerus
belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, serta
kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik
belajar sampai tingkatan menikmati belajar; dan (4) evaluasi yang terus
menerus, komprehensif, dan obyektif.
Menjadikan
pendidikan SD sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos
kerja, disiplin, jujur, cerdas, dan bermoral. Sehingga, peserta didik setiap saat
dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan
intelektual, partisipasinya dalam belajar yang akan mampu memekarkan seluruh
potensi yang dimiliki setiap peserta didik secara integralistik dengan
memperhatikan seluruh tahapan perkembangan psikologis mereka.
D. Prinsip-prinsip
Profesionalisme Guru dalam Mengajar
Selama
proses mengajar, profesionalitas guru dijalankan dengan prinsip-prinsip
tertentu. Guru perlu mengetahui dan dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar
agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara profesional (Hamzah B. Uno, 2010: 16),
yaitu sebagai berikut: (1) Guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta
didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat menggunakan berbagai
media dan sumber belajar yang bervariasi; (2) Guru harus dapat membangkitkan
minat peserta didik untuk aktif dalam berpikir serta mencari dan menemukan
pengetahuan sendiri; (3) Guru harus dapat membuat urutan (sequence)
dalam pemberian pelajaran dan penyesuaiannya dengan usia dan tahapan tugas
perkembangan peserta didik; (4) Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan
diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik, agar peserta
didik menjadi mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya; (5) Sesuai
dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat
menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik
menjadi jelas; (6) Guru wajib memperhatikan korelasi antara mata pelajaran
dengan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari; (7) Guru harus tetap menjaga
konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa
pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan
yang didapatnya; (8) Guru harus mengembangkan sikap peserta didik dalam membina
hubungan sosial, baik dalam kelas maupun di luar kelas; dan (9) Guru harus
menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta didik secara individual agar dapat
melayani siswa sesuai dengan perbedaannya tersebut.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa profesi guru memiliki peranan
yang sangat strategis dalam menginovasi pelaksanaan pembelajaran, karena guru
merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan
pembelajaran di sekolah. Profesi merupakan janji terbuka yang diucapkan dengan
sungguh-sungguh di hadapan orang lain, Tuhan, diri sendiri karena idealisme
seseorang untuk mengabdi seumur hidup demi mencapai kemaslahatan manusia.
Kemudian, jabatan guru telah mendapatkan pengakuan secara yuridis melalui UU
No. 20 tahun 2003, UU No 14 Tahun 2005, dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Oleh karena itu, profesi guru harus mendapatkan tempat yang istimewa
dibandingkan dengan pekerjaan lainnya yang bukan pekerjaan profesi.
Menurut
Danim (2002: 23), profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi
atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria
standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya
itu. Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan
status dan peningkatan kemampuan praktis. Aksestasinya dapat dilakukan melalui
penelitian, diskusi antar rekan seprofesi, penelitian dan pengembangan, membaca
karya akademik kekinian, dan sebagainya. Kegiatan belajar mandiri, mengikuti
pelatihan, studi banding, observasi praktikal, dan lain-lain menjadi bagian
integral upaya profesionalisasi itu.
Guru
profesional yang dituntut untuk memiliki kompetensi yang terukur dan teruji
melalui prosedur tertentu. Dalam UU No. 14 Tahun 2005 dinyatakan bahwa sebagai
pendidik profesional, guru mempunyai tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini pada pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.
Untuk
melihat apakah seorang guru dikatakan profesional atau tidak, dapat dilihat
dari dua perspektif. Pertama, dilihat
dari tingkat pendidikan minimal dari latar belakang pendidikan untuk jenjang
sekolah tempat seseorang menjadi guru. Kedua,
penguasaan guru terhadap materi bahan ajar, mengelola proses pembelajaran,
mengelola siswa, melakukan tugas-tugas bimbingan, dan lain-lain. Dilihat dari
perspektif latar pendidikan, kemampuan profesional guru SD di Indonesia masih
sangat beragam, mulai dari yang tidak berkompeten sampai yang berkompeten.
Menurut
Mulyasa (2013: 10) rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
1.
Adanya
pandangan sebagian masyarakat bahwa
siapa pun dapat menjadi guru, asalkan ia memiliki pengetahuan.
2.
Kekurangan
guru di daerah tertentu memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang
tidak mempunyai kewenangan profesional untuk menjadi guru.
3.
Banyaknya
guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesi
tersebut. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi
untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya dan lain-lain yang dapat memudarkan
wibawa guru dengan sendirinya menghambat mutu pendidikan.
Secara
De Jure, profesi guru merupakan
pekerjaan profesional karena sudah diatur dalam undang-undang dan seperangkat
peraturan lainnya, serta sudah disiapkan seoptimal mungkin walaupun hasilnya
belum optimal. Jika jabatan dan pekerjaan guru merupakan pekerjaan profesional,
maka hal tersebut akan membawa konsekuensi logis terhadap tanggung jawab untuk
mengembangkan dan mempertahankan profesi tersebut. Tanggung jawab dalam
mengembangkan profesi pada dasarnya merupakan tuntutan dan panggilan untuk
selalu mencintai, menghargai, menjaga, dan meningkatkan tugas dan tanggung
jawab profesinya. Guru harus sadar bahwa tugas dan tanggung jawabnya tidak bisa
dilakukan oleh orang lain, kecuali oleh dirinya. Guru merupakan panggilan moral
yang harus diemban secara bertanggung jawab dan profesional.
Meskipun
demikian, secara De Facto, pekerjaan
guru belum menunjukkan pekerjaan profesional karena dalam praktiknya masih
banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik profesinya, baik dalam
perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam monitoring dan evaluasi pekerjaan guru
tersebut, termasuk sertifikasi guru yang sedang dilakukan sekarang ini. Dalam
praktiknya, tidak semua guru mencintai, menghargai, menjaga, dan meningkatkan
tugas serta tanggung jawab profesinya. Bahkan masih banyak guru yang tidak
berlatar belakang pendidikan. Kondisi ini tidak hanya terjadi di daerah namun
juga terjadi di perkotaan. Selain itu tidak sedikit guru yang menjadikan
profesinya sebagai batu loncatan atau hanya menjadikan pekerjaan tersebut
sebagai jalan untuk menjadi pegawai negeri sipil sehingga tidak menjadi
panggilan moral yang diemban secara bertanggung jawab dan profesional.
Maka
dari itu, sebagai guru profesional yang ikut membentuk kepribadian manusia
dalam proses pertumbuhannya yang sangat penting itu, merupakan bidang pekerjaan
khusus yang dilaksanakan berdasarkan 9 (sembilan) prinsip sebagai berikut: (1)
memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme; (2) memiliki komitmen
untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; (3)
memiliki kualifikasi akademis dan latar belakang sesuai dengan bidang tugasnya;
(4) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya; (5)
memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; (6) memperoleh
penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (7) memiliki
kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan tugas secara berkelanjutan
dengan belajar sepanjang hayat; (8) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas keprofesionalannya; dan (9) memiliki organisasi profesi yang
mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas
keprofesionalan guru.
Sebagai
seorang pemegang jabatan profesi, guru dituntut untuk menguasai berbagai
pengetahuan yang terkait dengan bidang tugasnya, baik yang mencakup penguasaan
terhadap konten mata pelajaran yang harus diajarkan (what to teach) maupun pengetahuan tentang bagaimana cara
menyampaikan konten mata pelajaran tersebut sehingga dapat dicerna dan dipahami
oleh peserta didik (how to teach).
Kemampuan menguasai berbagai pengetahuan tersebut disebut kemampuan intelektual
atau kemampuan bidang kognitif. Guru harus memiliki kemampuan bidang kognitif,
artinya guru tersebut harus memiliki kemampuan intelektual, seperti penguasaan
konten mata pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, dan pengetahuan cara
menilai siswa.
Terdapat
lima ciri pokok dari suatu jabatan profesional, yaitu adanya pengakuan dari
masyarakat, menuntut keterampilan dan keahlian yang diperoleh melalui
pendidikan dan pelatihan intensif dari lembaga yang kredibel, didukung oleh a systematic body of knowledge, adanya
kode etik dan sanksi yang jelas/tegas oleh organisasi profesi, serta memperoleh
imbalan finansial yang memadai. Melihat kelima ciri tersebut, pekerjaan atau
jabatan sebagai guru merupakan pekerjaan atau jabatan yang berada pada taraf
profesi yang sedang tumbuh (emerging/growing
proffesions) dan belum mencapai suatu profesi dalam arti yang sesungguhnya
(Supriadi, 1999). Namun demikian, profesi sebagai guru benar-benar merupakan
pekerjaan yang tidak boleh dijabat oleh sembarang orang (Sudjana, 1988).
Penyandang profesi sebagai guru bukan hanya sekadar memiliki ilmu pengetahuan
yang kuat, tuntas, dan tidak setengah-tengah, tetapi juga harus memiliki
kepribadian yang matang, kuat, dan seimbang termasuk sifat-sifat fisiknya yang
memungkinkan dapat membimbing peserta didik yang sedang dalam tahap
perkembangan. Dalam ungkapan lain “professionalism
is predominantly an attitude, not a set of competencies”.
Hingga
saat ini, pengkajian mengenai profesionalisme guru terus-menerus dilakukan. Hal
tersebut didorong oleh kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru yang diyakini
merupakan indikator utama dalam peningkatan kualitas pendidikan dan berpengaruh
terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pada era globalisasi saat
ini, profesionalisme guru memiliki makna yang sangat strategis karena guru
mengemban tugas sejati bagi proses kemanusiaan, pemanusiaan, pencerdasan,
pembudayaan, dan pembangun karakter bangsa. Esensi dan eksistensi makna
strategis dari profesi guru telah diakui dalam realitas sejarah pendidikan di
Indonesia dengan pengakuan formal dari pemerintah, di mana pada tanggal 2
desember 2004 Presiden Republik Indonesia mencanangkan jabatan guru sebagai
jabatan profesional. Dalam hal ini, seorang guru harus memiliki kualifikasi
akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran dengan kepemilikan empat
kompetensi utama, yaitu: (a) kompetensi pedagogik; (b) kompetensi kepribadian;
(c) kompetensi profesional; dan (d) kompetensi sosial.
Simpulan
Pendidikan
yang bermutu akan didukung oleh guru-guru yang memegang prinsip-prinsip
profesionalisme guru. Sosok guru dengan karakter “Cerdas, Kreatif, dan Beradab”
adalah sosok yang sangat dibutuhkan pendidikan dasar di Indonesia untuk menghadapi
zaman globalisasi yang mulai dilaksanakan pada akhir tahun 2015 ini. Sosok guru
ideal sangat diperlukan untuk menyiapkan dan menghadapi era globalisasi, yaitu
sosok guru yang diharapkan dengan memiliki berbagai macam kecerdasan di dalam
dirinya, baik itu kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial,
kecerdasan emosional, dan kecerdasan spritual.
Daftar Pustaka
Danim, Sudarwan. (2002). Inovasi
Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan.
Bandung: Pustaka Setia.
Ma’arif,
Syamsul. (2009). Selamatkan Pendidikan Dasar Kita. Semarang: Need’s
Press.
Mulyasa. (2013). Uji
Kompetensi dan Penilaian Kinerja Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007.
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005.
Permendiknas
Nomor 16 Tahun 2007.
Sudjana, N. (1988).
Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar.
Bandung: Sinar Baru.
Supriadi, D.
(1999). Mengangkat Citra dan Martabat
Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Suprihatiningrum, Jamil. (2013). Guru Profesional: Pedoman Kinerja, Kualifikasi, & Kompetensi Guru.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Undang - Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen.
Undang - Undang RI Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Uno, Hamzah.
(2010). Profesi Kependidikan.
Jakarta: Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar