Kamis, 22 November 2018

TEORI KEBUTUHAN ABRAHAM MASLOW

Teori kebutuhan adalah salah satu perspektif tentang motivasi untuk pendidikan dan praktik mengajar. Meskipun ada beberapa variasi dari teori kebutuhan. Namun, premis utama di balik setiap variasi adalah membangkitkan manusia untuk mengambil tindakan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis bawaan atau keinginan intrinsiknya. Pernyataan teori kebutuhan klasik yang bermula dari karya Abraham Maslow pada pertengahan Abad 20, mengemukakan bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan mulai dari tingkat yang lebih rendah, seperti: kebutuhan fisiologis untuk makanan, tempat tinggal, dan keamanan sampai  dengan pada tingkat yang lebih tinggi, seperti: kebutuhan untuk memiliki, cinta, mengetahui, dan mengaktualisasi diri. Menurut Maslow piramida hierarki kebutuhan dapat diilustrasikan pada gambar berikut.


Implikasi dari teori Maslow cukup jelas dan telah mempengaruhi pendidikan praktik selama beberapa waktu. Misalnya, dalam menciptakan lingkungan yang aman maka akan menumbuhkan kebutuhan siswa akan keamanan terpenuhi.  Seperti anak-anak yang lapar atau merasa terancam tidak mungkin mencapai hasil yang lebih tinggi untuk mengetahui, memahami, dan menghargai estetika.
Pendidik dan psikolog, seperti Mc Clelland (1958), Atkinson dan Feather (1966), dan Alschuler, Tabor, dan McIntyre (1970), mengambil gagasan Maslow yang lebih umum tentang kebutuhan manusia dan menerapkannya secara langsung dengan kebutuhan yang paling relevan untuk mengajar dan pembelajaran di sekolah. Siswa termotivasi untuk memberikan energi di sekolah adalah untuk mengejar tiga hasil, yaitu: kepuasan, afiliasi, dan pengaruh.
a.    Kebutuhan kepuasan adalah ketika siswa berusaha untuk mempelajari mata pelajaran tertentu atau mendapatkan keterampilan yang sulit dan berhasil dengan usaha belajar mereka.
b.    Kebutuhan afiliasi dipenuhi ketika siswa mendapatkan persahabatan dan dukungan emosional dari guru dan rekan mereka di sekolah.
c.    Kebutuhan pengaruh akan terpenuhi jika siswa percaya bahwa mereka memiliki beberapa cara untuk mengontrol pembelajaran mereka.
De Charms (1976), Deci dan Ryan (1985), dan Csikszentmihalyi (1990, 1998) percaya bahwa individu mengambil tindakan untuk memenuhi kebutuhan memilih dan menentukan nasibnya sendiri. Pengaruh internal ini lebih penting daripada pengaruh eksternal. deCharms (1976) menggunakan konsep “Powns” dan “Origins” dalam penelitiannya. Konsep powns adalah individu yang percaya bahwa mereka memiliki sedikit pengaruh dalam kehidupan mereka, sedangkan konsep origins percaya mereka memiliki pengaruh utama atau bertanggung jawab atas perilaku mereka. De Charms percaya bahwa memberikan penghargaan atau penekanan eksternal yang besar membuat siswa merasa seperti orang pertama yang akan mengelola motivasi mereka untuk belajar.
Csikszentmilhalyi (1990) memandang perlunya pilihan dan penentuan nasib yang berbeda-beda. Selama beberapa tahun dia mempelajari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan orang-orang ketika mereka dilaporkan benar-benar terlibat dan meraka “terbawa oleh arus, seperti berada dalam aliran”. Csikszentmilhalyi menyebutnya dengan “flow experiences. Dia berpendapat bahwa hal tersebut akan terjadi sebagai akibat dari individu yang memiliki pilihan untuk mengejar tujuan mereka sendiri dan untuk mendapatkan kepuasan dari keinginannya sendiri.

Rabu, 14 November 2018

Strategi Pemecahan Masalah (Problem Solving) dalam Pembelajaran Matematika


Berbicara pemecahan masalah tidak bisa dilepaskan dari tokoh utamanya yaitu George Polya. Menurut Polya (1985) dalam pemecahan suatu masalah terdapat emapt langkah yang harus dilakukan yaitu: (1) memahami masalah, (2) merencanakan pemecahannya, (3) menyelesaikan masalah sesuai rencana langkah kedua, dan (4) memeriksa kembali hasil yang diperoleh (locking back).
1.      Pemahaman Terhadap Masalah
Memahami suatu masalah dapat dilakukan dengan membaca berulang-ulang masalah tersebut, pahami kata demi kata, kalimat demi kalimat; identifikasikan apa yang diketahui dari masalah tersebut; identifikasikan apa yang hendak dicari; abaikan hal-hal yang tidak relevan dengan permasalahan; dan jangan menambahkan hal-hal yang tidak ada sehingga masalahnya menjadi berbeda dengan masalah yang dihadapi.
2.      Perencanaan Penyelesaian Masalah
Didalam merencanakan penyelesaian masalah seringkali diperlukan kreatifitas. Sejumlah strategi dapat membantu untuk merumuskan suatu rencana penyelesaian suatu  masalah. Empat tahap pemecahan masalah dari Polya tersebut merupakan satu kesatuan yang sangat penting untuk dikembangkan. Salah satu cara untuk mengembangkan kemampuan anak dalam pemecahan masalah adalah melalui penyedian pengalaman pemecahan masalah yang memerlukan strategi berbeda-beda dari satu masalah ke masalah lainnya. Untuk memperkenalkan suatu strategi tertentu kepada siswa, diperlukan perencanaan yang matang.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang strategi pemecahan masalah, berikut akan disajikan beberapa strategi pemecahan masalah yang mungkin diperkenalkan pada anak sekolah dasar.
1.      Strategi Act It Out
Strategi ini dapat membantu siswa dalam proses visualisasi masalah yang tercakup dalam soal yang dihadapi. Dalam pelaksanaanya, strategi ini dilakukan dengan menggunakan gerakan-gerakan fisik atau dengan menggerakan benda-benda konkrit. Gerakan bersifat fisik ini dapat membantu atau mempermudah siswa dalam menemukan hubungan antara komponen-komponen yang tercakup dalam sautu masalah. Pada saat memperkenalkan strategi ini, sebaiknya ditekankan bahwa penggunaan obyek konkret yang dicontohkan sebenarnya dapat diganti dengan suatuu model yang lebih sederhana misalnya gambar.
2.      Membuat Gambar atau Diagram
Strategi ini dapat membantu siswa untuk mengungkapkan  informasi yang terkandung dalam masalah sehingga hubungan antar komponen dalam masalah tersebut dapat terlihat dengan lebih jelas. Pada saat mengerjakan strategi ini, perlu dilakukan bahwa gambar atau diagram yang dibuat tidak perlu sempurna, terlalu bagau atau terlalu detail. Hal yang perlu digambar atau dibuat diagarmnya adalah bagian-bagian terpenting yang diperkirakan mampu memperjelas permasalahan yang dihadapi.
3.      Menemukan Pola
Kegitan matematika yang berkaitan dengan proses menemukan  suatu pola dari sejumlahdata yang diberikan, dapat mulai dilakukan melalui sekumpulan gambar atau bilangan. Kegiatan yang mungkin dilakukan antara lain dengan mengobservasi sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh kumpulan gambar atau bilangan yang tersedia. Sebagai suatu strategi untuk pemecahan masalah, pencarian pola yang pada awalnya hanya dilakukan secara pasif melalui klu yang diberikan guru, pada suatu saat keterampilan itu akan terbentuk dengan sendirinya sehingga pada saat menghadapi permasalahan tertentu, salah satu pertanyaan yang mungkin muncul pada benak seseorang antara lain adalah: “Adakah pola atau keteraturan tertentu yang mengaitkan tiap data yang diberikan?”. Tanpa melalui latihan, sangat sulit bagi seseorang untuk menyadari bahwa dalam permasalahan yang dihadapinya terdapat pola yang bisa diungkap.
4.      Membuat Tabel
Mengorganisasi data ke dalam sebuah tabel dapat membantu kita dalam mengungkapkan suatu pola tertentu serta dalam mengidentifikasi informasi yang tidak lengkap. Penggunaan tabel merupakan langkah yang sangat efisien untuk melakukan klasifikasi serta menyusun sejumlah besar data sehingga apabila muncul pertanyaan baru berkenaan dengan data tersebut, maka dengaun mudah menggunakan data tersebut, sehingga jawaban pertanyaan tadi dapat diselesaikan dengan baik.
5.      Memperhatikan semua kemungkinan secara sistematik
Strategi ini biasanya digunakan bersamaan dengan strategi mencari pola dan menggambar tabel. Dalam menggunakan strategi ini, kita mungkin tidak perlu memperhatikan keseluruhan kemungkinan yang bisa trjadi. Yang kita perhatikan adalah semua kemungkinan yang diperoleh dengan cara yang sistematik. Yang dimaksud sistematik disini misalnya dengan mengorganisasikan  data berdasarkan kategori tertentu. Namun demikian, untuk masalah-masalah tertentu, mungkin kita harus memperhatikan semuan kemungkinan yang bisa terjadi.
6.      Tebak dan Periksa (Guess and Check)
Strategi menebak yang dimaksud di sini  adalah menebak yang didasarkan pada alasan tertentu serta kehati-hatian. Selain itu, untuk dapat melakukan tebakan dengan baik seseorang perlu memiliki pengalaman cukup yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi.
7.      Strategi Kerja Mundur
Suatu masalah kadang-kadang disajikan dalam suatu cara sehingga yang diketahui itu sebenarnya merupakan hasil dari proses tertentu, sedangkan komponen yang ditanyakan merupakan komponen yang seharusnya muncul lebih awal. Penyelesaian masalah seperti ini biasanya dapat dilakukan dengan menggunakan strategi mundur.
8.      Menentukan yang diketahui, yang ditanyakan, dan informasi yang diperlukan
Strategi ini merupakan cara penyelesaian yang sangat terkenal sehingga seringkali muncul  dalam buku-buku matematika sekolah. Karena guru dan siswa perlu untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika.
9.      Menggunakan Kalimat terbuka
Strategi ini juga termasuk seing diberikan dalam buku-buku matematika sekolah. Walaupun strategi ini termasuk sering digunakan, akan tetapi pada langkah awal anak seringkali mendapat kesulitan untuk menentukan kalimat terbuka yang sesuai. Untuk sampai pada kalimat yang dicari, seringkali harus melalui penggunaan strategi lain, dengan maksud agar hubungan antar unsur yang terkandung di dalam masalah dapat dilihatr secara jelas. Setelah itu baru dibuat kalimat terbukanya.
10.  Mengubah Sudut Pandang
Stategi ini seringkali digunakan setelah kita gagal untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan strategi lainnya. Waktu kita mencoba menyelesaikan masalah, sebenarnya kita mulai dengan suatu sudut pandang tertentu atau mencoba menggunakan asumsi-asumsi tertentu.
3.      Melaksanakan Perencanaan Penyelesaian Masalah
§  Melaksanakan strategi sesuai dengan yang direncanakan pada tahap sebelumnya
§  Melakukan pemeriksaan pada setiap langkah yang dikerjakan. Langkah ini bisa merupakan pemeriksaan secara intuitif atau bisa juga berupa pembuktian secara formal
§  Upayakan bekerja secara akurat
4.      Pentingnya Pemeriksaan Kembali Hasil (Looking Back)
Salah satu cara terbaik untuk mempelajari pemecahan masalah dapat dilakukan setelah penyelesaian masalah selesai dilakukan. Memikirkan atau menelaah kembali langkah-langkah yang telah dilakukan dalam pemecahan masalah merupakan kegiatan yang sangat penting untuk meningkatkan  kemampuan anak dalam pemecahan masalah. Hal-hal penting yang bisa dikembangkan dalam langkah terakhir dari strategi Polya dalam pemecahan masalah adalah: mencari kemungkinan adanya generalisasi, melakukan pengecekan terhadap hasil yang diperoleh, mencari cara lain untuk menyelesaikan masalah yang sama, mencari kemungkinan adanya penyelesaian lain, dan menelaah kembali proses penyelesaian masalah yang telah dibuat.

Implementasi problem solving
Dalam diskusi kemungkinan implementasi matematika problem solving, saya yakin bahwa sekurang-kurangnya ada tiga faktor penting yang harus dipikirkan. Pertama, merubah peranan guru. Kedua, merubah susunan kelas dan, Ketiga, menganalisa topik dalam kurikulum matematika Indonesia yang mungkin dapat mengakomodasi dan lebih efektif jika menggunakan pendekatan problem solving.
Dalam hal merubah peran guru, perlu disadari bahwa strategi pembelajaran problem solving telah merubah gaya siswa belajar dari sebagai siswa pasif belajar menjadi siswa yang aktif belajar. Sebagai konsekuensi menuntut berubahnya peran guru. Dalam hal berubahnya peran guru, Groves (1990) menyatakan bahwa peranan guru adalah sesuatu yang crusial, guru perlu benar-benar terlibat dalam menstimulasi siswa untuk aktif berfikir, menjaga semangat belajar siswa, menjaga rasa percaya anak dan mengelolanya jika diperlukan. Lebih jauh lagi, Stacey and Groves (1985) menambahkan bahwa peranan guru adalah:
§  Membawa siswa pada suasana siap menerima tantangan atau permasalahan, sebab sebuah masalah bukanlah masalah sampai siswa menyadari dan ingin memecahkannya.
§  Membangun atmosper kelas yang mendukung, dimana siswa disiapkan untuk memecahkan permasalahan yang asing dan tidak merasa tertekan ketika mereka menghadapi kebuntuan (stuck).
§  Mempersilahkan anak untuk mengikuti cara mereka dalam menemukan solusi dan membantu mereka ketika memerlukan, tanpa memberikan jawaban.
Merubah susunan tempat duduk di kelas yang maksudkan di sini adalah bagaimana mengorganisasi siswa sesuai dengan aktivitas yang ada pada problem solving. Berdasarkan pengalaman pada pengajaran matematika di sekolah, siswa-siswa di kebanyakan sekolah duduk secara berbaris dan hal itu kemungkinan membuat sulit untuk melakukan diskusi dengan teman yang lainnya dalam mengeksplorasi gagasan dan konsep yang tersembunyi di balik permasalahan yang diberikan dan ini sering disebut sebagai salah satu karakteristik dari problem solving. Hodgson (1989) menyarankan bahwa kelompok kerja adalah sesuatu yang esensi dalam pengajaran problem solving. Lebih lanjut, Burns (1990) menyatakan bahwa belajar bersama dalam kelompok kecil memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dengan konsep dibanding dengan apabila siswa diskusi kelas besar. Keuntungan lain dari grup kecil ini, dintaranya siswa memiliki kesempatan untuk bisa berbicara banyak, lebih nyaman untuk ambil resiko dalam menguji coba pemikirannya selama aktivitas problem solving. Oleh karena itu, perlu merubah posisi tempat duduk siswa agar memungkinkan mereka aktif berpartisipasi dalam diskusi.

Senin, 29 Oktober 2018

Penggunaan Bahasa Problem Solving Matematika pada Siswa SD

Salah satu lembaga yang membidangi matematika, The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) menekankan problem solving sebagai fokus sentral dari kurikulum matematika. Tidak saja kemampuan untuk memecahkan masalah menjadi alasan untuk mempelajari matematika, tetapi problem solving pun memberikan suatu konteks di mana konsep-konsep dan kecakapan-kecakapan dapat dipelajari. Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang tidak rutin.
Sebagaimana tercantum dalam kurikulum matematika di sekolah bahwa tujuan diberikannya matematika antara lain agar siswa mampu menghadapi perubahan keadaan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif. Berdasarkan teori belajar yang dikemukakan Gagne (1970), bahwa keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah.
Suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada seseorang anak dan anak tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah. Sebuah masalah bukanlah masalah jika masalah itu dapat diselesaikan dengan prosedur algoritmik tertentu. Untuk problem solving sesungguhnya, siswa harus menarik sejumlah kecakapan dan pengetahuan dari masa lalunya, kemudian memadukan itu semua dalam suatu cara baru untuk berada pada suatu penyelesaian.
Untuk memperoleh kemampuan dalam pemecahan masalah, seseorang harus memiliki banyak pengalaman dalam memecahkan berbagai masalah. Berbagai hasil penelitian  menunjukan bahwa anak yang diberi banyak latihan pemecahan masalah memiliki nilai lebih tinggi dalam tes pemecahan masalah dibandingkan anak yang latihannya lebih sedikit.
Salah satu teknik yang paling berharga untuk meningkatkan problem solving adalah penggunaan permasalahan yang disajikan secara lisan. Selain peningkatan permasalahan “di dalam sekolah”, masalah yang disajikan secara lisan jauh lebih mendekati rata-rata masalah “di luar sekolah” dibandingkan masalah kertas dan pensil. Presentasi lisan juga bermanfaat untuk mendorong siswa menyimak dengan cermat dan berkonsentrasi pada aspek-aspek terpenting dari masalah.
Penyajian suatu situasi masalah dengan menggunakan sebuah gambar atau format kartun multigambar dengan kata-kata sesedikit mungkin seringkali disebut sebagai pendekatan problem solving nonverbal. Ada beberapa sifat dari permasalahan nonverbal yang menjadikannya sebagai bagian penting dari program problem solving: (1) Guru dapat menyajikan permasalahan yang sangat bersifat “kehidupan nyata” (2) permasalahan nonverbal memungkinkan siswa untuk berfokus dengan cepat pada situasi masalah tanpa tergantung pada kecakapan membaca, yang sangat membantu pada tahap pra-membaca dan juga untuk para siswa yang mengalami kelemahan membaca. (3) fleksibelitas dari format nonverbal memungkinkan siswa untuk memunculkan beberapa masalah dari satu situasi. Ini merupakan alat bantu menuju realisme dan membantu mewadahi pebedaan-perbedaan individual. Format ini pun memberikan kesempatan bagi para siswa untuk melatih orginalitas dan kreativitas dalam mencari penyelesaian masalah. (4) permasalah nonverbal, seperti pula permasalahan yang diformulasi oleh siswa, membantu para siswa dalam mengekspresikan situasi-situasi matematis dengan kata-kata mereka sendiri. Ini membantu sebagian besar siswa, tetapi ini terutama membantu siswa yang berbeda budaya atau lemah dalam pemahan pola-pola bahasa.
 Suatu masalah dapat dipandang sebagai masalah, merupakan hal yang relatif. Suatu soal yang dianggap sebagai masalah bagi seseorang, bagi orang lain mungkin hanya merupakan hal yang rutin belaka. Dengan demikian, guru perlu berhati-hati dalam menentukan soal yang akan disajikan sebagai pemecahan masalah. Bagi sebagian besar guru, untuk memperoleh atau menyusun soal yang benar-benar bukan merupakan masalah rutin bagi siswa mungkin termasuk pekerjaan yang sulit. Akan tetapi hal ini akan dapat diatasi antara lain melalui pengalaman dalam menyajikan soal yang bervariasi baik bentuk, tema masalah, tingkat kesulitan, serta tuntutan kemampuan intelektual yang ingin dicapai untuk dikembangkan pada siswa.
Untuk memudahkan dalam pemilihan soal, perlu dilakukan pembedaan soal rutin dan soal tidak rutin. Soal rutin biasanya mencakup aplikasi suatu prosedur matematika yang sama atau mirip dengan hal yang baru dipelajari. Sedangakan dalam masalah tidak rutin, untuk sampai pada prosedur yang benar diperlukan pemikiran yang lebih mendalam. Hasil identifikasi masalah yang dilakukan melalui angket untuk siswa, angket untuk guru, dan observasi kelas secara umum menunjukan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian dari kegiatan matematika yang dianggap sulit baik materi maupun cara mengajarnya. Hasil lain yang diperoleh The National Assessment di Amerika Serikat, juga mengindikasikan bahwa siswa sekolah dasar pada umumnya mengalami kesulitan dalam menghadapi soal tidak rutin yang memerlukan analisis dan proses berpikir yang mendalam.
Tentunya pada siswa SD, penggunaan bahasa dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan problem solving (pemecahan masalah) ini harus sudah dibiasakan sejak dini dengan tingkat sesuai dengan perkembangan dan kelas siswa. Selain itu guru SD pun dituntut untuk selalu kritis dan kreatif dalam membuat permasalahan yang ingin diselesaikan oleh siswa-siswanya dengan mengacu pada tujuan pembelajaran pada mata pelajaran Matematika SD.

Selasa, 16 Oktober 2018

Kebijakan dan Manajemen Pendidikan pada Tingkat Sekolah Dasar


Pendahuluan
Dalam konteks inovasi pendidikan, bangsa Indonesia harus segera menyadari bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikannya, karena pola lama yang selama ini digunakan telah terbukti ‘gagal’ menghantarkan terbentuknya manusia-manusia yang memiliki karakter cerdas, kritis, kreatif, dan bertakwa. Sebuah karakter manusia yang sangat dibutuhkan di era globalisasi. Kalau sistem pendidikan Indonesia mampu melahirkan manusia dengan karakter ini, keadaan paradoksal bahwa bangsa Indonesia masih ketinggalan dalam beberapa hal dengan negara lain dapat segera dicari jalan keluarnya melalui kebijakan dan manajemen pendidikan yang tepat. 
A.  Isu-isu Kebijakan Pendidikan Dasar
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (Wahyu dan Silaban: 2006) mengemukakan bahwa isu diartikan sebagai kabar yang tidak jelas, tetapi menyebar tengah masyarakat, masalah yang di depankan untuk di tanggapi. Sedangkan menurut Imron (2008) isu adalah sesuatu yang oleh seseorang dianggap masalah, bisa dianggap bukan masalah oleh orang lain. Bahkan sesuatu yang dianggap sebagai masalah oleh orang lain bisa dianggap sebaliknya, karena menguntungkan.Ada kalanya problema umum tersebut  menjadi perpolemikan antara orang satu dengan lain serta menawarkan banyak sudut pandang. Problema umum yang demikian lazim disebut sebagai “isu”. Dengan demikian “isu” adalah problema umum yang menjadi perdebatan banyak kalangan dengan berbagai sudut pandangnya. Sehingga untuk sebuah kebijakan diambil dan diputuskan biasanya dilatar belakangi oleh adanya masalah. Masalah biasanya muncul ketika ada deskripansi antara dunia cita-cita (dassollent) dengan dunia nyata (dassein) (Rohman: 2012). Hadirnya kebijakan pendidikan dilaksanakan dalam rangka mengurangi kesenjangan yang mendekatkan antara dunia cita-cita dengan dunia nyata.Terkait dengan masalah isu kebijakan pendidikan dasar pertama-tama kita perlu memahami konsep “kebijakan” yang sering digunakan secara luas. Menurut kamus Oxford (Fattah: 2012) kebijakan berarti rencana kegiatan atau pernyataan tujuan-tujuan ideal. Kebijakan di sini terkait dengan kebijakan publik, dan dibuat atas nama negara oleh instrumen atau alat-alat negara untuk mengatur perilaku tiap orang, seperti guru atau  siswa dan organisasi, seperti sekolah dan universitas.Masih banyak kesalahan pemahaman maupun kesalahan konsepsi tentang kebijakan. Beberapa orang menyebut policy dalam sebutan kebijaksanaan, yang maknanya sangat berbeda dengan kebijakan. Istilah kebijaksanaan adalah kearifan yang dimiliki oleh seseorang, sedangkan kebijakan adalah aturan tertulis hasil keputusan formal organisasi. Contoh kebijakan adalah : (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keputusan Presiden, (4) Keputusan Menteri, (5) Peraturan Daerah, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yang dicontohkan disini adalah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan. Contoh ini juga memberi pengetahuan pada kita bahwa ruang lingkup kebijakan dapat bersifat makro dan mikro.Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Monahan dalam Syafaruddin: 2008). Kemudian senada dengan pendapat Monahan dalam Abidin (2006) menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat.Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku (Dunn, 1998). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.Dari pengertian para ahli tersebut maka, kami menyimpulkan bahwa kebijakan merupakan suatu tindakan yang di lakukan secara prosedural dan sistematis untuk menghasilkan sebuah kebijakan dalam memecahkan masalah, terutama masalah pendidikan yang dituangkan dalam bentuk tertulis sebagai acuan pelaksanaan kebijakan pendidikan dasar. Kebijakan dalam pendidikan di tetapkan oleh pemerintah yang mengatur pengelolaan sekolah, pemerintah yang diatur tidak hanya kurikulum, pedagogik dan penilaiannya, tetapi juga kondisi guru dan pemeliharaan sarana fisik sekolah. Fungsi kebijakan dalam pendidikan adalah: (1)  menyediakan akuntabilitas norma budaya yang menurut pemerintah perlu ada dalam pendidikan, (2) melembagakan mekanisme akuntabilitas untuk mengukur kinerja siswa dan guru.Beberapa isu yang telah menjadi program Depdikbud untuk meningkatkan kependidikan dasar menurut Depdiknas dalam Fattah(2012) adalah sebagai berikut:1)   Pemerataan dan Perluasan akses
Program pemerataan dan perluasan akses akan di lakukan dengan mengupayakan menarik semua anak usia sekolah yang sama sekali belum pernah sekolah, menarik kembali siswa putus sekolah, dan lulusan yang tidak pernah melanjutkan pendidikan. Berikut pelaksanaan program pemerataan dan perluasan: (a) Pemberian bantuan operasional, (b) rehabilitasi ruang kelas yang rusak, (c) unit sekolah baru dan RKB, (d) perintisan pendidikan dasar 9 tahun satu atap, dan (e) penyelenggaraan kelas layanan khusus di sekolah dasar.2)      Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing
Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan dasar akan dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut: sebagai bagian dari kegiatan yang mendasar dan sistematis adalah penegembangan kurikulum, metode pembelajaran dan sistem penilaian. Model kurikulum yang dikembangkan perlu memperhatikan potensi peserta didik, karakteristik daerah serta akar sosio-kultural, komunitas setempat, dan perkembangan IPTEK.3)      Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik
Pengembangan kapasitas Dewan Pendidikan (DP) dan Komite Sekolah (KS) serta Komite Pendidikan Luar Sekolah (PLS) merupakan kegiatan yang terus di lakukan dalam rangka pemberdayaan partisipasi masyrakat untuk ikut bertanggung jawab mengelola dikdas. Berfungsinya kedua kelembagaan tersebut secara optimal akan memperkuat pelaksanaan prinsip good governance dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.Beberapa isu-isu yang juga menjadi sorotan masyarakat yang perlu ditindak lanjuti oleh pemerintah yaitu mengenai penyelenggaraan UN, tawuran antar pelajar, sertifikasi pendidik, kegagalan pendidikan dalam menciptakan moralitas anak bangsa.Pada hal ini isu mengenai kegagalan pendidikan dalam menciptakan moralitas anak bangsa, disini sistem pendidikan belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai tujuan pendidikan Nasional yang tergambar dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional. Untuk memcahkan permasalahan tersebut, Depdikbud telah mencanangkan implementasi kurikulum 2013 yang notabanenya cenderung mengintegrasikan nilai-nilai dalam semua mata pelajaran, serta meminimalisir 12 mata pelajaran sekolah dasar menjadi 6 mata pelajaran.Pertanyaan yang masih menghantui para ‘pemikir pendidikan’ hingga kini adalah, kenapa pola pendidikan negara kita yang dipakai selama ini telah gagal membentuk manusia cerdas, kritis, kreatif, dan bertakwa? Untuk bisa menjawab pertanyaan seperti ini, sebenarnya kita semua harus mengakui bahwa dalam realitasnya pola pendidikan Indonesia yang selama ini dipakai masih cenderung mematikan kreatifitas dan memenjarakan peserta didik. Pendidikan hanya menuntut peserta didik untuk selalu “tunduk dan patuh” sehingga tidak memberikan kebebasan sedikitpun kepadanya untuk bersikap kritis dan rasional. Pendidikan kita terlanjur menekankan titik berat kepada “penimbunan fakta-fakta” dan melupakan cara “belajar berfikir”. Karena pendidikan selalu ditekankan pada pemikiran konvergen dan terlalu dibiasakan untuk berfikir secara tertib dan dihalangi kemungkinannya untuk merespon dan memecahkan masalah secara bebas. Akibatnya, peserta didik kita “diarak” pada stagnasi yang menjurus ke keadaan statis dan akhirnya macet dalam berfikir dan bertindak. 

B. Hubungan Isu Kebijakan dan Pendidikan Dasar
Beberapa hasil penelitian pendidikan telah menunjukkan bahwa ada kecenderungan kreatifitas tidak dapat berkembang secara optimal di kalangan subyek didik Indonesia. Hal ini disebabkan karena pendidikan formal di Indonesia terlalu menekankan pemikiran yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan jawaban satu-satunya yang tepat sebagaimana diajarkan oleh gurunya di dalam kelas. Murid jarang sekali dirangsang untuk melihat satu persoalan dari berbagai macam sudut yang berbeda. Bahkan, murid sangat jarang tersentuh sehingga menjadi kaku, kurang terbuka dan toleran terhadap pandangan yang berbeda. Sesuatu yang baru dan berbeda sering tidak disukai dan ditolak. Mereka merasa lebih aman terhadap hal-hal yang sudah ada, lama dan konvensional.Menurut Fendrik (2013) permasalahan yang terkait dengan kualiatas guru menuntut adanya reformasi guru yang ditandai dengan adanya perubahan “mind set” tentang guru sebagai pihak yang berada di garis depan pencapaian tujuan pendidikan nasional. Salah satu aspek strategis yang menjadi fokus perubahan dalam reformasi guru yaitu berkaitan dengan peningkatan kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Kualifikasi akademik merupakan salah satu prasyarat utama yang menentukan kelayakan seorang guru dalam melaksanakan tugas kependidikan. Pada kenyataannya masih terdapat sekitar 74% guru SD yang belum memiliki kelayakan kualifikasi akademik (S-1) sehingga harus ditingkatkan kualifikasi akademiknya.Sehubungan dengan perlunya humanware dalam pendidikan di sekolah, lahirnya Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 8, yang menyebutkan bahwa “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”, telah mengisyaratkan bahwa adanya tuntutan bagi guru di seluruh jenjang pendidikan untuk memiliki kualifikasi akademik yang sesuai dengan pekerjaannya.Landasan hukum tersebut, secara otomatis telah mendesak berbagai perguruan tinggi untuk mendirikan dan menyelenggarakan program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Hal ini disebabkan karena terdapatnya sebagian besar guru pada Sekolah Dasar (SD) di daerah Indonesia yang belum mengenyam pendidikan Strata Satu (S1). Dengan terselenggaranya PGSD, diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan profesionalitas guru di sekolah. Tentu saja dengan suatu pertimbangan guru dalam pendidikan memainkan peranan yang vital bagi terciptanya pendidikan yang bermutu dan membentuk peserta didik yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian atau dalam bahasa UNESCO (1996) seorang guru mampu moulding the character and mind of young generation. Dikatakan vital, sebab guru merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Ibarat sebuah mata rantai, antara guru, peserta didik, tujuan pendidikan, alat dan situasi pendidikan semua terikat secara sinergik dalam membangun kualitas pendidikan secara totalitas. Akan tetapi, karena pendidikan dilakukan oleh dan kepada manusia, maka faktor manusia dalam hal ini guru menempati posisi sentral dalam pendidikan.
Proses pembelajaran selama ini terlalu menekankan pada aspek kognitif. Akibatnya, persoalan afektif yang berkaitan dengan sistem nilai kurang dapat dikembangkan. Hal ini berakibat pada lemahnya sistem nilai yang dimiliki oleh peserta didik kita. Karena sistem nilai yang ada pada diri peserta didik lemah, akibatnya mereka kurang memiliki visi yang jelas mengenai masa depan mereka. Dengan kata lain, para peserta didik sebagian besar kurang memiliki sense of crisis, sehingga mereka kurang menyadari akan pentingnya memiliki keunggulan kompetitif untuk mampu hidup dengan wajar di era global.Akibatnya, ketidakberdayaan peserta didik dalam menghadapi era globalisasi yang penuh kompetisi seperti itu adalah wajar karena proses belajar mengajar yang hanya berorientasi pada ranah kognitif biasanya hanya memproduk manusia seperti “mesin” dan bermental tukang, miskin imajinasi dan lemah dalam karakternya. Sistem pendidikannya pun tidak bersifat emansipatif dan liberatif serta kurang memperhatikan potensi individu serta kinerja otak dan emosi.Padahal sebenarnya pelaku pendidikan harus bisa menghargai peserta didik sebagai manusia dengan memperhatikan kinerja otaknya. Karena otak merupakan tempat menyimpan dan bersemayamnya kecerdasan dan emosional peserta didik. Inilah satu-satunya organ yang sangat berkembang sehingga ia dapat mempelajari tentang dirinya sendiri. Jika dirawat oleh tubuh yang sehat dan lingkungan yang merangsang, otak yang berfungsi dapat tetap aktif dan reaktif selama lebih dari seratus tahun.Lebih dari itu, sistem pendidikan di Indonesia tidak didukung oleh guru-guru demokratis yang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengemukakan pendapat secara bebas dan argumentatif. Pendapat guru yang terkesan “segalanya” dan pasti benar adanya hingga tidak boleh dibantah apalagi dikritik. Mengkritik guru bisa jadi “malapetaka” dan tidak barokah adalah slogan yang sering didengungkan kepada peserta didik agar mereka memiliki rasa ingin tau dan takut kepada gurunya. Akibatnya, peserta didik senantiasa dalam ketakutan dan ketidakberdayaan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri.Selain itu, pendidikan di negara kita belum didukung dengan seperangkat kurikulum dan metode yang baik. Padahal kurikulum yang didukung dengan metode yang baik sangat memainkan peranan yang penting dalam mencapai suatu keberhasilan pendidikan. Karena, sebaik apapun kurikulum yang diberikan kepada peserta didik tidak akan memiliki dampak apapun pada perkembangan mereka, apabila dalam menyampaikan kurikulum tersebut tidak disertai dengan metode yang baik pula.Metode memainkan peran yang sangat “vital” demi keberhasilan suatu proses belajar mengajar. Tujuan menggunakan metode ini adalah untuk memperoleh efektivitas dari kegunaan metode yang paling tepat untuk segala kondisi. Karena pada dasarnya penggunaan metode pendidikan disesuaikan dengan segala hal yang berkaitan dengan materi. Apabila materinya direlevansikan dengan kebutuhan masyarakat global yang selain cerdas juga memiliki kepekaan sosial dan berteknologi. Tentu saja kurikulum tersebut harus didukung dengan metode yang relevan pula.Metode yang relevan dengan masyarakat global adalah metode yang dapat menumbuhkan kemerdekaan pada peserta didik untuk menumbuhkan sisi-sisi kemanusiannya. Sekolah dan guru berposisi dan berperan sebagai fasilitator dan mediator. Dengan didukung seperangkat teknologi, tentu saja metode tersebut akan memudahkan setiap peserta didik dalam proses belajar mengajarnya. Sehingga metode ini diharapkan mampu memekarkan kecerdasan otak sekaligus hatinya.Melihat realitas problematika sistem pendidikan tersebut di atas, sesungguhnya model pendidikan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia sekarang adalah model pendidikan yang demokratis, partisipatif, dan humanis. Sebuah karakter pendidikan yang mensyaratkan adanya kebebasan berpendapat, kebebasan mengungkapkan gagasan, adanya keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah.Saling menghargai atau apresiasi di dalam komunitas pendidikan sangat mutlak diperlukan karena apresiasi pada hakikatnya bukan hanya sekedar kata yang menjadi nama dari sebuah keinginan tetapi juga tindakan. Jika guru dan peserta didik serta orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan saling mengahrgai satu sama lain, kemungkinan besar akan bisa mencapai kesepakatan yang bijaksana, dibandingkan jika masing-masing pihak tidak saling menghargai. Karena dengan saling menghargai akan menimbulkan rasa nyaman dan mudah bekerjasama.Keinginan untuk mewujudkan pendidikan demokratis seperti itu harus dimulai dari sekolah. Sebab pendidikan yang demokratis bukan hanya untuk menyiapkan siswa bagi kehidupan mereka nantinya di masyarakat. Oleh karena itu, pada setiap sekolah guru harus mampu mendorong dan menumbuhkembangkan pendidikan yang demokratis dan humanis ini serta berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mengoptimalkan seluruh kemampuan dasar yang dimiliki oleh peserta didik, seperti kemampuan berkomunikasi, eksploratif, kreatif, serta integral. Sebab, kemampuan dasar inilah yang akan dijadikan bekal oleh peserta didik kelak ketika mereka hidup bermasyarakat dalam lingkungannya.Kemampuan berkomunikasi ditandai dengan penguasaan bahasa dan kepercayaan diri dalam berkomunikasi dengan semua orang dari segala lapisan yang ada di masyarakat di rasa sangat penting. Hal ini disebabkan karena hanya mereka yang mampu menyerap, menguasai, dan mengelola informasilah yang akan mampu berkompetisi dan dapat berhasil dalam persaingan hidup ditengah masyarakat.Jiwa eksploratif yang dicirikan adanya keinginan anak didik untuk suka mencari, bertanya, menyelidiki, merumuskan pertanyaan, mencari jawaban, dan peka menangkap gejala alam sebagai bahan untuk mengembangkan diri mesti ditumbuhkembangkan dalam diri anak agar menjadi pribadi-pribadi yang mandiri dan berkualitas. Sedangkan jiwa kreatif dicirikan dengan anak suka menciptakan hal-hal baru dan berguna, tidak mudah putus asa, berfikir lateral serta semangat integratif yang ditandai kemampuan melihat dan menghadapi beragam kehidupan dalam keterpaduan yang realistis dan utuh pada aspek pemberdayaan yang dimiliki peserta didik.Jelasnya, perubahan paradigma pendidikan Indonesia dari pendidikan dengan pendekatan dan metode konvensional menuju pendidikan demokratis, humanis, dan partisipatif yang dicirikan dengan model pendidikan dengan metode pendidikan yang mendidik, kreatif, dan dialogis adalah sebuah keharusan. Apalagi hal ini telah diamanatkan oleh UU No. 20 Tahun 2003 Sisdiknas Pasal 4 Ayat 4 yang menyatakan bahwa: pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran yang meliputi proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis.Ditambah lagi proses pembelajaran di sekolah harus aktif, kreatif, dan menyenangkan. Sebagaimana termaktub dalam PP No. 19 Tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan Pasal 19 Ayat 1 menyatakan bahwa: proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.Sebenarnya terdapat beberapa sekolah di Indonesia yang telah mencoba menerapkan dan mengembangkan sistem serta metode pendidikan alternatif tersebut. Sekolah dengan model ini biasanya dengan keberanian para pemimpin dan kreatifitas para gurunya telah melakukan sebuah bentuk inovasi pendidikan. Meskipun harus diakui, penerapan dan operasionalisasi konsep inovasi pendidikan ini di lapangan masih mengalami sejumlah permasalahan serius. Persoalannya masih banyak guru yang belum mengerti betul landasan epistimologi metode tersebut sehingga asal “comot” dalam proses pembelajaran.Bahkan yang paling parah, karena mengaku menerapkan basis konstruktivisme, peserta didik terkadang “dipaksa” untuk menghadirkan realitas yang terkadang berlawanan dengan sifat kemuliaan mereka sebagai manusia. Dan masih banyak kejanggalan kebijakan pendidikan dasar yang dilakukan kepada peserta didik sehingga merugikan generasi bangsa. Dalam konteks ini, perlu kiranya sebuah pemikiran integratif antara kebijakan pendidikan dasar yang mungkin bangunan teorinya berasal dari barat dengan konsep-konsep keislaman dan budaya ketimuran sehingga tidak terkesan bertabrakan dan berlawanan dalam dunia pendidikan dasar kita. 

Simpulan
Kebijakan merupakan suatu tindakan yang di lakukan secara prosedural dan sistematis untuk menghasilkan sebuah kebijakan dalam memecahkan masalah, terutama masalah pendidikan yang dituangkan dalam bentuk tertulis sebagai acuan pelaksanaan kebijakan pendidikan dasar. Kebijakan dalam pendidikan di tetapkan oleh pemerintah yang mengatur pengelolaan sekolah, pemerintah yang diatur tidak hanya kurikulum, pedagogik dan penilaiannya, tetapi juga kondisi guru dan pemeliharaan sarana fisik sekolah.Selain itu kebijakan dalam proses pembelajaran selama ini terlalu menekankan pada aspek kognitif. Akibatnya, persoalan afektif yang berkaitan dengan sistem nilai kurang dapat dikembangkan. Hal ini berakibat pada lemahnya sistem nilai yang dimiliki oleh peserta didik kita. Karena sistem nilai yang ada pada diri peserta didik lemah, akibatnya mereka kurang memiliki visi yang jelas mengenai masa depan mereka. Dengan kata lain, para peserta didik sebagian besar kurang memiliki sense of crisis, sehingga mereka kurang menyadari akan pentingnya memiliki keunggulan kompetitif untuk mampu hidup dengan wajar di era global.
Akibatnya, ketidakberdayaan peserta didik dalam menghadapi era globalisasi yang penuh kompetisi seperti itu adalah wajar karena proses belajar mengajar yang hanya berorientasi pada ranah kognitif biasanya hanya memproduk manusia seperti “mesin” dan bermental tukang, miskin imajinasi dan lemah dalam karakternya. Sistem pendidikannya pun tidak bersifat emansipatif dan liberatif serta kurang memperhatikan potensi individu serta kinerja otak dan emosi. 

Daftar Rujukan
Abidin, S. Z. (2006). Kebijakan Publik. Jakarta: Suara Bebas.
Dunn, W. N. (1998). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Fattah, N. (2012). Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Fendrik, M. (2013). Konferensi Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar SPS UPI “Menyongsong Generasi Emas 2045”. Bandung: Prosiding Pendidikan Dasar SPS UPI.
Imron, A. (2008). Kebijaksanaan Pendidikan Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.Rohman, A. (2012). Kebijakan pendidikan (analisis dinamika formulasi dan implementasi). Yogyakarta: Aswaja Presindo.
Syafaruddin. (2008). Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Wahyu dan Silaban. (2006). Kamus Pintar Bahasa Indonesia. Batam Centre: Karisma Publishing

Jumat, 12 Oktober 2018

Sosok Guru SD Ideal yang Memegang Prinsip Profesionalisme dalam Menghadapi Era Globalisasi



A.  Latar Belakang dan Permasalahan
Era globalisasi menuntut kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Upaya menyiapkan sumber daya manusia yang unggul salah satunya dapat dicapai melalui pendidikan. Kualitas SDM sangat erat kaitannya dengan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan adalah keadaan baik dan kurang baiknya kondisi, layanan, dan hasil pendidikan berdasarkan kriteria ideal dan harapan masyarakat. Pendidikan dikatakan berkualitas jika sesuai dengan indikator utama seperti kondisi, layanan, dan hasil pendidikan yang sesuai atau melebihi harapan pihak yang berkepentingan (stakeholder). Salah satu aspek penting yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan yaitu ketersediaan guru yang berkualitas dan sesuai dengan standar pendidik dan tenaga kependidikan yang telah ditetapkan. Standar yang dimaksud berkaitan dengan kualifikasi akademik dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Guru harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Perkembangan yang pesat dalam bidang pendidikan selama empat dekade terakhir ini telah membawa berbagai masalah berkenaan dengan pengadaan dan pendayagunaan guru di Indonesia. Secara kuantitatif, masalah itu mencakup perhitungan kebutuhan, pengadaan, dan penyebaran guru. Masalah penyebaran guru sekolah dasar (SD), ketidakcocokan latar belakang pendidikan, dan penugasan guru (mismatch) merupakan masalah yang sangat signifikan dalam sistem pengadaan dan pendayagunaan guru (teacher supply system) di negara kita dan merupakan pertanda tidak terpadunya sistem pengadaan dan pendayagunaan tenaga guru itu.
Kemudian secara kualitatif, permasalahan itu berkenaan dengan kurang memadainya kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran yang efektif dan penguasaan bahan ajar serta kurang pedulinya sebagian dari para guru untuk mengembangkan kemampuan akademik dan profesional secara mandiri. Untuk menangani tantangan yang bersifat kualitatif, pemerintah telah melakukan berbagai upaya penting dalam meningkatkan kualitas kemampuan guru dan tenaga kependidikan lainnya, baik guru TK, SD, SMP, maupun SMA. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini telah banyak produk hukum yang mengarahkan peningkatan mutu dan kesejahteraan guru, yaitu sejak diberlakukannya Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 1989; Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; dan Permendiknas No. 28 Tahun 2005 tentang Akreditasi Perguruan Tinggi.
Kapabilitas guru pada semua jenjang pendidikan, terutama guru sekolah dasar (SD), sering mendapatkan sorotan yang mengarah pada ketidakpuasan dan ketidakpercayaan dari sebagian anggota masyarakat. Penyebabnya bisa berasal dari faktor guru itu sendiri maupun dari prestasi belajar yang dicapai oleh siswa. Berdasarkan beberapa hasil kajian, masih terdapat kelemahan dan kendala yang berkaitan langsung dengan mutu guru SD yang jika tidak segera diatasi akan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan di masa yang akan datang.
Permasalahan yang berkaitan dengan kualitas guru menuntut adanya reformasi guru yang ditandai dengan adanya perubahan “mind set” tentang guru sebagai pihak yang berada pada di garis depan pencapaian tujuan pendidikan nasional. Salah satu aspek strategis yang menjadi fokus perubahan dalam reformasi guru yaitu berkaitan dengan peningkatan kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Kualifikasi akademik merupakan salah satu prasyarat utama yang menentukan kelayakan seorang guru dalam melaksanakan tugas kependidikan. Pada kenyataannya masih terdapat sekitar 74% guru SD yang belum memiliki kelayakan kualifikasi akademik (S1) sehingga harus ditingkatkan kualifikasi akademiknya.
Permasalahan lain berkaitan dengan lemahnya penguasaan kompetensi secara utuh yang mengakibatkan kegagalan dalam melaksanakan fungsi dan tugas profesionalnya. Kelemahan tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan bidang kognitif yang berkaitan dengan kemampuan intelektual guru, kemampuan bidang sikap yang berkaitan dengan kesiapan/kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya, serta kemampuan bidang keterampilan yang berkaitan dengan kemampuan guru dalam berbagai keterampilan yang dipersyaratkan.
Dari ketiga kemampuan tersebut, kemampuan bidang kognitif merupakan kemampuan pertama yang harus dimiliki oleh seorang guru. Pemahaman guru terhadap peran dan fungsi serta tugasnya menempati posisi yang sangat penting, karena pemahaman ini sangat berpengaruh terhadap aspek sikap dan keterampilan yang seharusnya dimiliki seorang guru profesional. Apabila pemahaman terhadap bidang kognitif ini kurang baik maka diasumsikan guru tersebut akan memiliki sikap dan keterampilan yang kurang baik pula. Dengan demikian, pendidikan dan pelatihan guru seharusnya memberikan kesempatan kepada calon guru atau guru untuk  terlebih dahulu memahami fungsi, peran, dan bidang tugas yang akan sangat berpengaruh terhadap aspek sikap dan keterampilan guru.
Salah satu bukti guru-guru SD kurang memahami kemampuan bidang kognitif secara menyeluruh dapat dilihat dari hasil penilaian atau uji kompetensi yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2012. Uji kompetensi dilakukan kepada sebanyak 164.539 orang guru SD yang sudah memenuhi kualifikasi akademik S1/D4. Dari 100 butir soal terkait dengan kemampuan bidang kognitif pada kompetensi pedagogik dan profesional yang diujikan, nilai rata-rata yang diperoleh yaitu 36,86 dengan rentangan nilai mulai dari 3,00 (terendah) sampai 80,00 (tertinggi), dan tidak seorangpun guru yang bisa mencapai nilai maksimal (90-100).
Secara umum, kajian literatur ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis dalam rangka mengoptimalkan dan meningkatkan kemampuan profesionalitas guru sekolah dasar di masa yang akan datang.

B.  Upaya Perubahan dalam Sistem Pendidikan Profesi Guru
Profesi sebagai guru memiliki peran yang sangat strategis dalam proses pencerdasan, pembudayaan, dan pembangunan karakter bangsa. Pencanangan guru sebagai jabatan profesi dan menjadi modal dasar dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional secara komprehensif. Dengan tugas-tugas seperti yang tertera dalam UU Nomor 14 Tahun 2005, guru menjadi faktor kunci dan “the front liner” dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan mutu pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Sebagai konsekuensinya, guru harus memiliki kemampuan yang memadai dan terstandar untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan serta mempunyai keinginan dalam mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas.
Mutu dan profesionalitas guru sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek pendidikan dan/atau pelatihan lanjutan yang dialaminya pada saat memangku jabatan sebagai guru (in-service teacher training). Permasalahan yang sering muncul dalam pelaksanaan pendidikan/pelatihan guru dalam jabatan, di antaranya: (a) materi penataran yang diberikan bukan yang dibutuhkan oleh guru; (b) penatar sering tidak lebih bermutu pengetahuannya dan juga tidak lebih lama pengalamannya dari yang ditatar; (c) kegiatan penataran biasanya diselenggarakan pada jam efektif di mana para guru seharusya mengajar; (d) penataran dipandang guru hanya sebagai paksaan untuk memperoleh sertifikat; dan (e) penyelenggaraan pelatihan pada umumnya sangat berorientasi pada proyek. Permasalah-permasalahan tersebut akan berakibat terhadap rendahnya kualitas kinerja guru yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh juga terhadap perolehan hasil belajar siswa yang diajarnya di sekolah.
Kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat cepat menimbulkan perkembangan yang cepat pula dalam berbagai bidang kehidupan. Perkembangan teknologi informasi membawa masyarakat ke arah kehidupan yang lebih terbuka, komunikasi yang akurat dan cepat ke seluruh penjuru tanah air bahkan ke seluruh dunia, serta sarana transportasi yang semakin canggih memperpendek jarak antardaerah dan negara. Semuanya membawa kepada tatanan kehidupan yang bersifat global, menghilangkan batas-batas antarbangsa, negara, dan benua. Dalam kehidupan yang demikian, terdapat tuntutan yang semakin tinggi dan persaingan yang semakin ketat. Masalah mutu, baik mutu produk maupun mutu layanan adalah hal yang tidak dapat ditawar lagi dari mereka yang mampu memberikan sesuatu yang bermutu, mampu bersaing dalam kehidupan global dan berkinerja secara profesional. Profesionalisme menjadi syarat mutlak untuk dapat berkiprah pada era informasi, era globalisasi, baik secara regional, nasional, maupun internasional.
Menurut Suprihatiningrum (2013: 70) guru profesional adalah guru yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru harus mengetahui, memahami, dan menguasai berbagai strategi dan teknik pembelajaran, menguasai landasan-landasan kependidikan, serta menguasai bidang studi yang diajarkan.
Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 2, guru dikatakan sebagai tenaga profesional yang mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Selanjutnya Undang-undang No. 20 Tahun 2003, Pasal 39 Ayat 2 menjelaskan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Menurut Suprihatiningrum (2013: 24) orang yang disebut pendidik atau guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran, serta mampu menata dan mengelola kelas agar siswa dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Guru seharusnya melalui pendidikan mampu membantu anak didik untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.
Di mata siswa, guru adalah seorang yang mempunyai otoritas bukan saja dalam bidang akademis, melainkan juga dalam bidang non akademis. Bahkan dalam masyarakat, guru dipandang sebagai orang yang harus di gugu dan di tiru. Pengaruh guru terhadap siswanya sangat besar. Faktor-faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati misalnya memegang peranan penting dalam interaksi sosial. Oleh sebab itulah, berdirinya PGSD sebagai wadah untuk membentuk dan mewujudkan guru yang profesional bisa dikatakan sebagai upaya untuk dapat membawa perubahan dalam sistem pendidikan di sekolah dan melahirkan SDM yang handal serta tercapainya tujuan yang diharapkan agar tercapainya tipologi guru yang memiliki karakteristik tertentu, yang pada masa sekarang disebut dengan guru berkompetensi. Guru yang berkompetensi menggambarkan bahwa guru harus memiliki dan menampilkan sosok kualitas personal (kepribadian), pedagogik, profesional, serta sosial dalam menjalankan tugasnya.
Profesionalitas guru SD melalui PGSD sangat tepat momentumnya bagi perkembangan pendidikan di sekolah karena didasarkan pada realitas di lapangan bahwa masalah kompetensi dan profesionalitas mereka dalam menjalankan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah menghadapi permasalahan dan kritik dari berbagai pihak. Di antara kritik yang patut di cermati adalah bahwa pendidikan di sekolah lebih berkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis yang bersifat kognitif semata, kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan tersebut menjadi makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan ke dalam jiwa siswa. Tamatan PGSD diharapkan akan mampu menjawab semua kritikan seperti ini dengan melahirkan pendidikan-pendidikan alternatif. Tentu saja dengan cara pandang teori-teori ke SD-an, selama mereka mengikuti program pendidikan ini seorang guru SD akan dipandang cakap dan memiliki kompetensi mampu mengajar anak-anak secara efektif dan holistik.

C.  Peningkatan Profesionalisme Guru SD
Arus dinamika masyarakat terus mengalir dan bergerak menuju ke samudera modernisme kehidupan masyarakat yang di dalamnya mengandung unsur harapan, di samping kecemasan dan keresahan sosial. Perkembangan global yang terjadi saat ini bisa jadi akan menuju arah yang positif dan bisa pula ke arah yang negatif, tergantung siapa yang paling banyak menginstal konsep-konsep, pemikiran-pemikiran, budaya dan nilai ke dalamnya. Dalam kondisi yang demikianlah kita berbicara mengenai kiprah pendidikan dalam pemberdayaan manusia Indonesia di kancah globalisasi.
Berbicara tentang kaitan antara pendidikan dan globalisasi, tentu saja kita juga harus membicarakan mengenai “sosok guru ideal” yang di harapkan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, profil sosok guru ideal bagaimana sebenarnya yang diharapkan oleh sistem pendidikan dalam menghadapi globalisasi tersebut? Tentu saja, profil guru yang diharapkan dunia pendidikan adalah tidak sesederhana seperti gambaran dan impian orang-orang tua kita dahulu, yaitu seseorang yang biasanya bergaya dan berpakaian seperti layaknya guru dan mengajar di kelas, sementara ia tidak tahu apa-apa tentang perkembangan dunia luar. Profil guru seperti ini tidak lah salah namun sudah saatnya untuk “dirubah” dengan “sosok” yang selain memiliki keahlian dalam mengajar, juga harus memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan anak-anak mereka dalam menghadapi dan mengantisipasi perkembangan zaman.
Seseorang yang dikatakan profesional, menurut Muhaimin dalam Syamsul Ma’arif (2009: 105), “Bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntunan zamannya, yang dilandasi oleh kesadaran tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya di masa depan”.
Sosok guru ideal yang diharapkan pendidikan sekarang adalah seorang ilmuwan dengan ciri-ciri sebagai berikut; (1) Peka terhadap masalah, Karena kepekaan seperti ini merupakan penggerak kreatifitas. Bagi ilmuwan yang lebih penting adalah memikirkan pertanyaan untuk suatu jawaban daripada menjawab pertanyaan yang sudah ada. (2) Bekerja tanpa pamrih, Dalam dunia ilmu sikap tanpa pamrih biasanya diberi makna obyektif, cinta kebenaran dan kritis. Tetapi bukan obyektif yang dingin, cinta kebenaran yang impersonal atau sekedar membuka diri untuk selalu kritis dan bersedia menerima kritik. Melainkan, sifat tanpa pamrih mendorong ilmuwan untuk tidak semata mengindahkan kepentingan sendiri, sebaliknya harus membuka diri untuk setiap kebenaran termasuk yang tidak berasal dari dirinya, bahkan bersedia mempertaruhkan diri walaupun dengan itu seolah hakekat kemanusiaannya menjadi semu belaka. (3) Bersikap bijaksana, kebijakan mengandung makna adanya hubungan timbal balik antara pengenalan dan tindakan, antara pengertian praktis etis yang sesuai. (4) Tanggung jawab, seorang ilmuwan berkewajiban mencari, menemukan dan memanfaatkan ilmu bagi keperluan hidup umat manusia, sekaligus juga harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi selanjutnya jika dengan ilmu itu ternyata menimbulkan kerusakan lingkungan di alam ini, lalu berusahalah ia untuk mencari lagi jalan keluarnya. Dengan begitu, jelaslah bahwa sosok guru dengan karakter “Cerdas, Kreatif, dan Beradab” adalah sosok yang sangat dibutuhkan pendidikan dasar di Indonesia untuk menghadapi zaman globalisasi, yaitu sosok yang diharapkan dengan memiliki berbagai macam kecerdasan di dalam dirinya, baik itu kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spritual.
Kenapa “sosok” guru dengan berbagai macam kecerdasan tersebut sangat dibutuhkan di era globalisasi? Karena, dalam konteks globalisasi ini berbagai perubahan dalam kehidupan yang menjadi ciri utamanya adalah keterampilan mentransfer pengetahuan tertentu yang sangat spesifik konteksnya sehingga diperlukan transferable knowledge. Transferable knowledge ini harus memiliki komponen-komponen yang jelas dan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata, yang berarti pengetahuan yang diajarkan kepada siswa tidak hanya bersifat teoritik tetapi juga praktik, sehingga potensi yang harus dikembangkan adalah kreativitas dan peningkatan kecerdasan siswa secara stimulan dalam dimensi moral.
Selain itu, dalam memasuki era globalisasi yang ditandai dengan berbagai kemajuan pada aspek-aspek tertentu dalam kehidupan umat manusia dan biasanya terjadi pergaulan global yang dicirikan sebagai berikut: Pertama, terjadi pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan perdagangan, investasi, dan informasi. Kedua, hubungan antarnegara/bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan kearah saling ketergantungan. Ketiga, batas-batas geografi hampir kehilangan arti operasionalnya. Kekuatan suatu negara dan komunitas dalam interaksinya dengan negara ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keempat, persaingan antarnegara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai, dan norma yang secara ekonomi dianggap tidak efisien.
Menghadapi fenomena globalisasi semacam itu, sekarang ini telah memunculkan “trend pendidikan” yang lebih berorientasi pada pengembangan potensi manusia, bukan memusatkan pada kemampuan teknikal dalam melakukan eksplorasi dan ekspoitasi alam. Pergeseran ini didorong tidak hanya oleh kenyataan terjadinya krisis ekologi tetapi juga oleh hasil riset terutama dalam bidang neuropsikologi yang menunjukkan bahwa potensi manusia masih sangat sedikit. Dengan begitu, masa depan peradaban manusia masih sulit diramalkan karena akan terjadi berbagai inovasi yang mengejutkan, baik dalam aspeknya yang positif maupun negatif.
Tentu saja, dalam menghadapi kasus seperti itu pendidikan nasional harus segera mewujudkan apa yang telah menjadi fungsi dan tujuannya dalam Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 3, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembanganya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk merealisaikan fungsi dan tujuan pendidikan nasional mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diharapkan. Pendidikan nasional melalui PGSD harus menumbuhkan prakarsa dan memekarkan potensi kreatif pada peserta didiknya dengan berbagai macam kecerdasan.
Pendidikan nasional harus segera memperhatikan berbagai macam kecerdasan yang harus dikembangkan, karena dalam menghadapi globalisasi unsur yang paling penting adalah bagaimana kita bisa mengoptimalkan potensi “mind” dan “brain” pada diri siswa untuk meraih prestasi peradaban secara cepat dan efektif. Maka masing-masing kecerdasan dalam diri siswa harus ditumbuhkembangkan secara proporsional dan seimbang. Ini berarti pendidikan yang “demokratis” harus memberlakukan beragam metode yang menggali kemampuan siswa untuk berperan secara aktif, dengan mengakui perbedaan kemampuan intelektual, kecepatan belajar, sifat, sikap, dan minatnya.
Kebijaksanaan pendidikan yang harus diutamakan adalah membantu setiap mahasiswa (sebagai calon guru SD nantinya) dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan: (1) menyediakan guru profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga, dan ruang guru ruang bermain yang memadai; (3) menyediakan media pembelajaran yang inovatif, sehingga memungkinkan peserta didik dapat secara terus menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar; dan (4) evaluasi yang terus menerus, komprehensif, dan obyektif.
Menjadikan pendidikan SD sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos kerja, disiplin, jujur, cerdas, dan bermoral. Sehingga, peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya dalam belajar yang akan mampu memekarkan seluruh potensi yang dimiliki setiap peserta didik secara integralistik dengan memperhatikan seluruh tahapan perkembangan psikologis mereka.

D.  Prinsip-prinsip Profesionalisme Guru dalam Mengajar
Selama proses mengajar, profesionalitas guru dijalankan dengan prinsip-prinsip tertentu. Guru perlu mengetahui dan dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara profesional (Hamzah B. Uno, 2010: 16), yaitu sebagai berikut: (1) Guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat menggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi; (2) Guru harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berpikir serta mencari dan menemukan pengetahuan sendiri; (3) Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pelajaran dan penyesuaiannya dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik; (4) Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik, agar peserta didik menjadi mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya; (5) Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas; (6) Guru wajib memperhatikan korelasi antara mata pelajaran dengan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari; (7) Guru harus tetap menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya; (8) Guru harus mengembangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan sosial, baik dalam kelas maupun di luar kelas; dan (9) Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta didik secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaannya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa profesi guru memiliki peranan yang sangat strategis dalam menginovasi pelaksanaan pembelajaran, karena guru merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Profesi merupakan janji terbuka yang diucapkan dengan sungguh-sungguh di hadapan orang lain, Tuhan, diri sendiri karena idealisme seseorang untuk mengabdi seumur hidup demi mencapai kemaslahatan manusia. Kemudian, jabatan guru telah mendapatkan pengakuan secara yuridis melalui UU No. 20 tahun 2003, UU No 14 Tahun 2005, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, profesi guru harus mendapatkan tempat yang istimewa dibandingkan dengan pekerjaan lainnya yang bukan pekerjaan profesi.
Menurut Danim (2002: 23), profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Aksestasinya dapat dilakukan melalui penelitian, diskusi antar rekan seprofesi, penelitian dan pengembangan, membaca karya akademik kekinian, dan sebagainya. Kegiatan belajar mandiri, mengikuti pelatihan, studi banding, observasi praktikal, dan lain-lain menjadi bagian integral upaya profesionalisasi itu.
Guru profesional yang dituntut untuk memiliki kompetensi yang terukur dan teruji melalui prosedur tertentu. Dalam UU No. 14 Tahun 2005 dinyatakan bahwa sebagai pendidik profesional, guru mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini pada pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Untuk melihat apakah seorang guru dikatakan profesional atau tidak, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dilihat dari tingkat pendidikan minimal dari latar belakang pendidikan untuk jenjang sekolah tempat seseorang menjadi guru. Kedua, penguasaan guru terhadap materi bahan ajar, mengelola proses pembelajaran, mengelola siswa, melakukan tugas-tugas bimbingan, dan lain-lain. Dilihat dari perspektif latar pendidikan, kemampuan profesional guru SD di Indonesia masih sangat beragam, mulai dari yang tidak berkompeten sampai yang berkompeten.
Menurut Mulyasa (2013: 10) rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1.    Adanya pandangan sebagian masyarakat  bahwa siapa pun dapat menjadi guru, asalkan ia memiliki pengetahuan.
2.    Kekurangan guru di daerah tertentu memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai kewenangan profesional untuk menjadi guru.
3.    Banyaknya guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesi tersebut. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya dan lain-lain yang dapat memudarkan wibawa guru dengan sendirinya menghambat mutu pendidikan.
Secara De Jure, profesi guru merupakan pekerjaan profesional karena sudah diatur dalam undang-undang dan seperangkat peraturan lainnya, serta sudah disiapkan seoptimal mungkin walaupun hasilnya belum optimal. Jika jabatan dan pekerjaan guru merupakan pekerjaan profesional, maka hal tersebut akan membawa konsekuensi logis terhadap tanggung jawab untuk mengembangkan dan mempertahankan profesi tersebut. Tanggung jawab dalam mengembangkan profesi pada dasarnya merupakan tuntutan dan panggilan untuk selalu mencintai, menghargai, menjaga, dan meningkatkan tugas dan tanggung jawab profesinya. Guru harus sadar bahwa tugas dan tanggung jawabnya tidak bisa dilakukan oleh orang lain, kecuali oleh dirinya. Guru merupakan panggilan moral yang harus diemban secara bertanggung jawab dan profesional.
Meskipun demikian, secara De Facto, pekerjaan guru belum menunjukkan pekerjaan profesional karena dalam praktiknya masih banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik profesinya, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam monitoring dan evaluasi pekerjaan guru tersebut, termasuk sertifikasi guru yang sedang dilakukan sekarang ini. Dalam praktiknya, tidak semua guru mencintai, menghargai, menjaga, dan meningkatkan tugas serta tanggung jawab profesinya. Bahkan masih banyak guru yang tidak berlatar belakang pendidikan. Kondisi ini tidak hanya terjadi di daerah namun juga terjadi di perkotaan. Selain itu tidak sedikit guru yang menjadikan profesinya sebagai batu loncatan atau hanya menjadikan pekerjaan tersebut sebagai jalan untuk menjadi pegawai negeri sipil sehingga tidak menjadi panggilan moral yang diemban secara bertanggung jawab dan profesional.
Maka dari itu, sebagai guru profesional yang ikut membentuk kepribadian manusia dalam proses pertumbuhannya yang sangat penting itu, merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan 9 (sembilan) prinsip sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme; (2) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; (3) memiliki kualifikasi akademis dan latar belakang sesuai dengan bidang tugasnya; (4) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya; (5) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan tugas secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (8) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya; dan (9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Sebagai seorang pemegang jabatan profesi, guru dituntut untuk menguasai berbagai pengetahuan yang terkait dengan bidang tugasnya, baik yang mencakup penguasaan terhadap konten mata pelajaran yang harus diajarkan (what to teach) maupun pengetahuan tentang bagaimana cara menyampaikan konten mata pelajaran tersebut sehingga dapat dicerna dan dipahami oleh peserta didik (how to teach). Kemampuan menguasai berbagai pengetahuan tersebut disebut kemampuan intelektual atau kemampuan bidang kognitif. Guru harus memiliki kemampuan bidang kognitif, artinya guru tersebut harus memiliki kemampuan intelektual, seperti penguasaan konten mata pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, dan pengetahuan cara menilai siswa.
Terdapat lima ciri pokok dari suatu jabatan profesional, yaitu adanya pengakuan dari masyarakat, menuntut keterampilan dan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan intensif dari lembaga yang kredibel, didukung oleh a systematic body of knowledge, adanya kode etik dan sanksi yang jelas/tegas oleh organisasi profesi, serta memperoleh imbalan finansial yang memadai. Melihat kelima ciri tersebut, pekerjaan atau jabatan sebagai guru merupakan pekerjaan atau jabatan yang berada pada taraf profesi yang sedang tumbuh (emerging/growing proffesions) dan belum mencapai suatu profesi dalam arti yang sesungguhnya (Supriadi, 1999). Namun demikian, profesi sebagai guru benar-benar merupakan pekerjaan yang tidak boleh dijabat oleh sembarang orang (Sudjana, 1988). Penyandang profesi sebagai guru bukan hanya sekadar memiliki ilmu pengetahuan yang kuat, tuntas, dan tidak setengah-tengah, tetapi juga harus memiliki kepribadian yang matang, kuat, dan seimbang termasuk sifat-sifat fisiknya yang memungkinkan dapat membimbing peserta didik yang sedang dalam tahap perkembangan. Dalam ungkapan lain “professionalism is predominantly an attitude, not a set of competencies”.
Hingga saat ini, pengkajian mengenai profesionalisme guru terus-menerus dilakukan. Hal tersebut didorong oleh kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru yang diyakini merupakan indikator utama dalam peningkatan kualitas pendidikan dan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pada era globalisasi saat ini, profesionalisme guru memiliki makna yang sangat strategis karena guru mengemban tugas sejati bagi proses kemanusiaan, pemanusiaan, pencerdasan, pembudayaan, dan pembangun karakter bangsa. Esensi dan eksistensi makna strategis dari profesi guru telah diakui dalam realitas sejarah pendidikan di Indonesia dengan pengakuan formal dari pemerintah, di mana pada tanggal 2 desember 2004 Presiden Republik Indonesia mencanangkan jabatan guru sebagai jabatan profesional. Dalam hal ini, seorang guru harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran dengan kepemilikan empat kompetensi utama, yaitu: (a) kompetensi pedagogik; (b) kompetensi kepribadian; (c) kompetensi profesional; dan (d) kompetensi sosial.

Simpulan
Pendidikan yang bermutu akan didukung oleh guru-guru yang memegang prinsip-prinsip profesionalisme guru. Sosok guru dengan karakter “Cerdas, Kreatif, dan Beradab” adalah sosok yang sangat dibutuhkan pendidikan dasar di Indonesia untuk menghadapi zaman globalisasi yang mulai dilaksanakan pada akhir tahun 2015 ini. Sosok guru ideal sangat diperlukan untuk menyiapkan dan menghadapi era globalisasi, yaitu sosok guru yang diharapkan dengan memiliki berbagai macam kecerdasan di dalam dirinya, baik itu kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spritual.

Daftar Pustaka
Danim, Sudarwan. (2002). Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Ma’arif, Syamsul. (2009). Selamatkan Pendidikan Dasar Kita. Semarang: Need’s Press.
Mulyasa. (2013). Uji Kompetensi dan Penilaian Kinerja Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007.
Sudjana, N. (1988). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Supriadi, D. (1999). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Suprihatiningrum, Jamil. (2013). Guru Profesional: Pedoman Kinerja, Kualifikasi, & Kompetensi Guru. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Undang - Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang - Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Uno, Hamzah. (2010). Profesi Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara